Sang Gheronis

Sang Gheronis
Revolusi

Cari Blog Ini

Laman

Selasa, 29 Juni 2010

administrasi Pertanahan

SEJARAH SINGKAT PERTANAHAN/ AGRARIA PRA-KOLONIAL SAMPAI ZAMAN REFORMASI



Tinjauan Sejarah
"Sejarah adalah kuburan", begitu kata Vilfredo Pareto, seorang insinyur yang sekaligus seorang ekonom dan juga sosiolog. Namun tanpa sejarah kita tidak akan pernah ada. Sejarah berlanjut bersama berlangsungnya kehidupan kita. Dari sejarah kita belajar melihat kesalahan, dan dari situ kita berusaha memperbaiki langkah kita di masa depan. Demikianlah, dalam masalah agrarian pun kita perlu belajar dari sejarah. Yang hendak digambarkan secara ringkas di sini adalah gambaran keagrariaan sejak jaman feodalisme, pra-kolonial sampai jaman reformasi, khususnya yang menyangkut masalah pertanahan, di Indonesia. Tetapi, khusus untuk masa prakolonial, gambaran tentang kebijakan agraria itu hanya tercermin secara tersirat, dan samar-samar. Karena, usaha untuk memperoleh gambaran kesejarahan ini ternyata terbentur pada beberapa kesulitan. Antara lain, sebagian besar bahan-bahan studi historis umumnya terpusat hanya pada kehidupan "istana", bukan dalam konteks masyarakat, apalagi pedesaan, dan dengan demikian masalah tanah hanya disinggung sepanjang hal itu berkaitan dengan pengelolaan kerajaan. Disamping itu, studi-studi mengenai masa awal pemerintahan colonial pun, walaupun kadangkala agak terperinci, umumnya juga tidak melihat peranan penguasaan tanah dalam konteks desa melainkan lebih menekankan pada kebijaksanaan pemerintah dilihat dari segi keuntungan pemerintah jajahan, ataupun dilihat dari konsep yang lebih abstrak seperti "kesejahteraan pribumi".Dengan demikian, sulit untuk menggambarkan bagaimana sesungguhnya pola penguasaan tanah dalam masyarakat masa lampau sebelum abad-19, dengan cara seperti kita menggambarkannya untuk masa kini. Walaupun demikian, barangkali ada baiknya kita gambarkan keadaan itu dalam beberapa pernyataan saja yang disarikan dari beberapa literature terbatas.



A.  Pada Masa Feodalisme
Indonesia sebelum kedatangan bangsa Barat sering disebut dengan masa pra-kapitalis, pra-kolonial, atau zaman feodal. Keterangan dalam bagian ini, akan mencakup kondisi sebelum era kalonial tersebut, termasuk juga pada awal kolonial ketika keterlibatan pemerintah kolonial terhadap masalah pertanahan belum terasa, karena saat itu mereka lebih berkosentrasi sebagai pedagang rempah-rempah. Intervensi pemerintah kolonial dalam masalah pertanahan secara praktis baru mulai dirasakan di zaman Raffles yaitu mulai tahun 1811.
Dalam Schrieke (1955) dijelaskan, ketika kedatangan Barat ke Indonesia pertama kali, wilayah Indonesia didominasi pertanian dengan adanya variasi performa antar daerah. Ada dua bentuk utama pertanian pada saat itu, yaitu sawah dan ladang, yang secara kasar sering merepresentasikan perbedaan ekologi Jawa dan luar Jawa (lihat juga Geertz, 1976).
Areal sawah beririgasi menjadi sumber konsentrtasi penduduk, dimana usaha pertanian dilakukan secara intensif. Namun ini tidak berarti bahwa kehidupan saat itu dapat dikatakan harmonis. Schrieke (1955) menyatkan bahwa insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi tidak ada, karena surplus produksi hanyalah untuk keluarga raja dan birokrasi di keraton. Hal ini karena wilayah sawah beririgasi dibantu kerajaan untuk konstruksi dan pemeliharaan saluran irigasi dan jalannya, menjamin keamanan, serta penyediaan bangunan lumbung padi. Artinya, kehidupan petani berada di dalam tekanan pihak kerajaan, karena investasi pihak kerajaan yang besar dalam produksi pertanian sawah tersebut. Menurut Wertheim (1956), sampai dengan tahun 1800, belum ada perubahan yang mendasar dalam pertanian di Indonesia, karena pengaruh Barat juga tidak progresif.
Lalu, bagaimanakah struktur masyarakat pedesaan saat itu. Sebagian besar ahli berpendapat bahwa struktur masyarakat saat itu lebih egaliter, baik secara ekonomi maupun sosial. Pendapat ini tidak disetujui oleh Husken dan White (1989), karena menurutnya masyarakat Jawa sudah sejak lama secara historis terbagi dalam kelas-kelas agraris yang dibedakan atas perbedaan penguasaan tanah, dan komersialisasipun telah lama ada dalam masyarakat Jawa. Artinya, kondisi masyarakat desa era pra-kolonial yang sangat egaliter dan penuh dengan keintiman sosial tersebut adalah tidak benar.
Husken dan White (1989) menolak anggapan Jawa yang tak terdiferensiasi, egaliter, dan stagnan yang mendominasi pikiran peneliti dan pemerintah kolonial. Misalnya Raffles yang menganggap tak adanya nilai-nilai komersial pada masyarakat desa, lemahnya rangsangan untuk investasi dipertanian, dan ekonomi yang merata. Pemilikan tanah komunal dianggap tidak kondusif untuk pertumbuhan, sehingga mereka pesimis terhadap pemilikan yang sempit-sempit dan relatif seragam. Perlu kehati-hatian dalam mengapresiasi pandangan ahli-ahli Belanda, karena objektivitasnya sebagai ilmuwan bercampur aduk dengan motivasi politiknya.

Pada masa abad 18 dan awal 19, secara umum di Jawa dikenal 3 kelas penguasaan tanah ,yaitu:
(1) Kelompok besar petani tuna-kisma yang kadangkala berlindung pada keluarga-keluarga petani yang memiliki tanah, namun juga sering merupakan kelompok tenaga kerja musiman yang tidak terikat dan cukup mobil. Secara kuantitas jumlah petani tuna-kisma ini cukup besar dan menjadi kelompok inti kegiatan pertanian.
(2) Kelompok mayoritas petani (sikep atau kuli) yang memiliki hak atas tanah,
dan untuk hak tersebut berkewajiban membayar pajak dan upeti yang besar jumlahnya kepada pihak kerajaan.
(3) Kelas pamong desa yang selain menguasai tanah pribadi, juga berhak menguasai sejumlah besar tanah desa sebagai upah mereka dalam mengatur pemerintahan (lungguh dan tanah bengkok), ditambah lagi hak memperkejakan sikep atau kuli untuk mengarap tanah mereka tersebut tanpa membayar upah.
Dengan komposisi seperti ini, artinya pada masa itu pola hubungan majikan-buruh dan tenaga kerja upahan sudah dijumpai, sebagaimana dikatakan Husken dan White di atas. Selain itu, penelitian Breman (1986) di wilayah Cirebon juga menemukan struktur yang hampir serupa, yang semakin memperkuat tesis stratifikasi sosial. Menurut Breman, ada empat lapisan dalam masyarakat desa, yaitu:
(1) Penguasa desa dan orang-orang penting lokal yang tidak pernah menggarap
tanah secara langsung namun mendapat hak apanage atau lungguh dari raja. Mereka berada pada lapisan paling atas dan dihormati oleh warga lain. Biasanya mereka adalah dari keluarga pembuka wilayah tersebut pertama kali, atau dari keluarga kerajaan.
(2) Masyarakat tani (sikep) sebagai bagian inti masyarakat. Secara kuantitas jumlah mereka paling besar dibanding yang lain.
(3) Para wuwungan (penumpang) yang hidup sebagai buruh tani, dan membangun rumah di pekarangan sikep karena tidak punya tanah sendiri. Mereka adalah petani tuna-kisma.
(4) Para bujang, yaitu mereka yang belum keluarga.

Di bawah sistem feodalisme, alat produksi seperti tanah adalah milik raja dan bangsawan, bahkan rakyatpun menjadi milik raja yang dapat dikerahkan tenaganya untuk kepentingan penguasa (Fauzi, 1999). Rakyat yang menggarap hanya punya hak menggunakan. Petani diharuskan menyerahkan separoh hasil buminya sebagai upeti, berupa buah-buahan, padi, barang-barang mentah atau sudah jadi, serta kayu-kayu gelondongan. Dengan posisinya sebagai penggarap, maka kehidupan petani hanya mampu memenuhi kebutuhan dasarnya saja. Akibat dari sistem ini, maka ketimpangan antara kehidupan petani dan raja beserta kaum bangsawan sangat besar.
Tentang hal ini, Wiradi (2000) berendapat bahwa pada masa itu konsep kepemilikan menurut konsep Barat (property, atau eigendom) memang tidak dikenal, bahkan juga bagi penguasa. Karena itu tanah-tanah tersebut bukannya dimiliki pejabat-pejabat atau penguasa, melainkan bahwa para penguasa itu dalam artian politik mempunyai hak jurisdiksi atas tanah-tanah dalam wilayahnya yang dengan kekuasaan dan pengaruhnya dapat mereka pertahankan, dan secara teroitis punya hak untuk menguasai, menggunakan, ataupun menjual hasil-hasil buminya sesuai dengan adat yang berlaku.
Tentang pola penguasaan tanah pada saat ini, ada perdebatan, apakah pemilikan tanah berbentuk hak komunal atau individual. Namun menurut van de Kroef (1984), terdapat beragam bentuk penguasaan antar daerah di Jawa, dan penguasan individual dan juga kolektif ada pada satu daerah secara bersamaan. Pola penguasaan tanah cenderung berada di antara dua kutub yang berlawanan, yaitu pemilikan komunal yang kuat atau hak ulayat, dan pemilikan perorangan dengan beberapa hak istimewa komunal.
Bentuk tradisional yang paling umum adalah hak penguasaan secara komunal semua tanah, baik yang dapat ditanami maupun sebagai cadangan, yang seluruhnya berada di bawah pengawasan desa, dimana petani penggarap menerima tanah desa atas kesepakatan bersama para anggota masyarakat desa. Hal ini sama kondisinya dengan pengaturan penggunaan pemakaian tanah adat oleh dewan “doumtuatua” di Bima (dalam Brewer, 1985).
Disamping itu, juga ada tanah “individual”, yaitu sebidang tanah yang dapat dikuasai selama-lamanya oleh satu keluarga, dapat melimpahkan ke ahli warisnya, walau pengalihan ke luar desa tidak diperbolehkan. Pola penguasaan tanah di Jawa sangat beragam antar daerah, bahkan ada daerah yang hamper tidak mengenal prinsip penguasaan komunal kecuali untuk sedikit tanah khusus, misal di Probolinggo, Pasuruan, dan Besuki di Jawa Timur (van de Kroef, 1984). Secara umum dikenal, bahwa tanah komunal banyak di pesisir Utara Jawa, sedangkan tanah private banyak di wilayah Jawa Barat pedalaman, Jawa Tengah Selatan, dan Jawa Timur.
Perdebatan tentang apakah pemilikan komunal atau individual tersebut, sebagiannya disebabkan karena perbedaan persepsi di antara pengamat saja, karena ada tanah-tanah komunal yang dapat diwariskan sehingga terlihat sebagai tanah individual. Ada tanah komunal yang diredistribusikan berkala, namun juga ada yang non-redistribusi. Namun yang pasti, di luar masalah perdebatan penguasaan tersebut, sudah ada stratifikasi luas dan hak penguasaan tanah di antara warga desa.
Dari uraian di atas terlihat, karena hak penguasaan tanah ada pada kerajaan, sehingga petani hanyalah berstatus sebagai penggarap, maka perolehan bagi petani sangat terbatas. Akibatnya, seperti yang dilihat banyak ahli, komersialisasi pedesaan tidak berjalan, dan investasi pertanian mandeg. Penguasaan tanah oleh kerajaan, menjadi alat politik pihak kerajaan, agar dapat mengontrol seluruh warga dan terutama pembantu-pembantunya di level desa. Kepatuhan dari pembantu di tingkat desa terbentuk melalui pemberian tanah lungguh kepada mereka yang sewaktu-waktu dapat dicabut oleh pihak kerajaan.

  1. Pada Masa Pra-Kolonial
Pola pembagian wilayah yang menonjol pada masa awal kerajaankerajaan
di Jawa adalah berupa pembagian tanah ke dalam beragam penguasaan atau pengawasan, yang diberikan ke tangan pejabat-pejabat yang ditunjuk oleh raja atau yang berwenang di istana. Agaknya, pada masa itu konsep "pemilikan" menurut konsep Barat ("property", "eigendom") memang tidak dikenal, bahkan juga bagi penguasa. Karena itu tanah-tanah tersebut bukannya "dimiliki" oleh pejabat-pejabat atau penguasa, melainkan bahwa para penguasa itu dalam artian politik mempunyai hak jurisdiksi atas tanah-tanah dalam wilayahnya yang dengan kekuasaan dan pengaruhnya dapat mereka pertahankan, dan secara teoritis juga mempunyai hak untuk menguasai, menggunakan, ataupun menjual hasil-hasil buminya sesuai dengan adat yang
berlaku. Kemudian ada juga tanah-tanah yang diperuntukkan bagi kepentingan keagamaan. Barulah sisanya diperkirakan merupakan wilayah pedesaan yang belum begitu jelas bagaimana organisasi di dalamnya.
Walaupun organisasi penguasaan tanah secara internal desa pada masa
kerajaan Majapahit tidak begitu jelas, namun ada juga petunjuk-petunjuk tentang
adanya penguasaan "individual" maupun penguasaan "kolektif". Van Setten van
der Meer menulis :
"Hak penguasaan perorangan diberlakukan terhadap seorang
petani pionir; apabila ia sudah membuka tanah baru, maka ia diberi
waktu tiga tahun untuk membangun dan mencetak sawah sebelum
dikenakan sebagai wajib pajak. Pembukaan tanah dan
pencetakkan sawah yang dilakukan oleh beberapa orang petani
bersama-sama menjadikan tanah tersebut "milik-gabungan".
Jikalau seluruh penduduk desa bekerja bersama membuka tanah
bagi kepentingan semua orang maka tanah tersebut menjadi
"milik-kolektif" sebagai "sawah desa". (Terjemahan bebas - GWR).

Dalam bagian lain uraiannya itu Van der Meer juga menyatakan bahwa "pemilik sawah, petani bebas, atau penduduk inti, sebagai keturunan dari para pendiri desa yang mula pertama membuka tanah, merupakan lapisan 'elite' desa, yang dikenal sebagai anak thani, atau kulina"6). Dengan demikian istilahistilah "kuli kenceng" atau "kuli kendo" yang sampai sekarang masih dipakai di berbagai desa nampaknya memang berasal dari kata kulina tersebut, dan bukan berasal dari (atau berbeda dengan pengertian) kata quli dalam bahasa Hindi yang artinya buruh atau pelayan.
Pada masa akhir kerajaan Mataram penguasaan tanah oleh para pejabat terutama dibagi atas dasar sistem appanage yaitu suatu bentuk penguasaan dimana penggunaan atas tanah itu dihadiahkan kepada para pejabat dengan syarat kewajiban membayar upeti kepada penguasa pusat, dalam bentuk sebagian hasil bumi yang dikumpulkan dari para petani.
Ketika Belanda (VOC) datang di Indonesia dan terutama sejak tahun 1677 ketika Mataram menjadi daerah protektorat VOC, maka sejak itu peranan pejabat-pejabat daerah sedikit demi sedikit menjadi berubah. Pada masa pertengahan abad-18, ketika VOC memperoleh kekuasaan monopoli perdagangan, Belanda berfungsi sebagai perantara antara berbagai pejabat daerah dengan raja, karena para penguasa daerah itulah yang menjamin penyerahan hasil bumi dari rakyat. Dengan menarik para penguasa daerah ke dalam pengaruhnya maka pada hakekatnya Belanda berhasil membuat agar penyerahan hasil bumi dilakukan langsung kepada VOC, dan dengan demikian mengkonsolidasikan kekuasaannya. Namun pada awal abad ke-19 VOC bangkrut dan penguasaannya.

Alur Sejarah Singkatnya yaitu :
  1. Pra – Kolonial
v  Diberikan kepada pejabat yang ditunjuk saja atau yang berwenang di istana.
v  Konsep pemilikannya menurut konsep barat (property eigendom).
v  Kepemilikannya secara juridiksi.
v  Penguasaan individu / perorangan/ kolektif.
ada istilah “ kulina “ artinya kuli kenceng dan kuli kendo.
  1. Pemerintahan Inggris (1811 - 1816)
v  Semua tanah milik raja.
v  Diutamakan penarikan pajak bumi yang terkenal dalam istilah belanda
“ LANDRENTE “
  1. Jaman “ CULTUR STELSEL “ (1830 – Tanam Paksa)
v  Pada dasarnya sama dengan Rafles.
v  Tanah milik pemerintah.
v  Para kepala desa menyewa kepada pemerintah artinya meminjamkan kepada petani.
v  Landrente/ pajak dihapus tetapi 1/5 dari tanahnya harus ditanami dengan tanaman tertentu yaitu; pala, nila, kopi, tembakau, tebu, dan harus diserahkan kepada pihak pemerintah  (kemudian untuk di eksport ke Belanda).
  1. Perubahan UUD Belanda (1848)
v  Memberikan hak erfpacht ( penyewaan jangka panjang ) selama batas waktu 99 tahun.
v  Hak milik pribumi diakui sebagai hak milik mutlak (eigendom) dan tanah komunal (adat) dijadikan hak milik perorangan eigendom.
v  Hal ini ditolak oleh kaum liberal dan hal ini ditolak oleh kaum liberal dan sampai saat itu tujuannya tak tercapai.
  1. Jaman Liberal (1870)
v  Penguasa terdahulu jatuh ( Van De Putten ), karena tergesa – gesa.
v  Memberikan hak eigendom kepada pribumi.
v  Hak milik yang tidak dapat membuktikan kepemilikannya di cabut menjadi hak milik pemerintahan mutlak.
v  Tahun 1870 merupakan tonggak sejarah yang sangat penting bagi sejarah agraria di Indonesia, karena sejak itulah berduyun-duyun modal swasta Eropa mencengkram bumi Indonesia. Muncul perkebunan swasta besar di sumatera dan jawa dengan segala akibatnya.


  1. Masa Kemerdekaan (Orde Lama dan Orde Baru)
Masa Orde Lama ditandai dengan kelahiran Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960. Dalam proses pembuatan produk hukum ini terlihat bahwa pemerintah memberi perhatian serius terhadap pentingnya permasalahan agraria sebagai landasan pokok dalam pembangunan pertanian dan pedesaan (Wiradi, 2000). Namun sebagai aturan pokok, secara yuridis peraturan ini masih lemah secara hukum. Meskipun di dalamnya sudah terjadi proses pemodernan, dengan menggabungkan dualisme hukum sebelumnya, yaitu hukum Belanda dan hukum adat, namun masih banyak ketentuanketentuannya yang belum aplikatif.
Meskipun demikian, kegiatan landreform yang ideal pernah berjalan setelah kelahiran UUPA ini, namun kemudian gagal karena ditunggangi oleh muatan politik. Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai partai yang menggunakan politik populis telah berhasil mendapat sambutan yang tinggi dari masyarakat pedesaan. Tanah telah dijadikan alat politik sehingga dukungan kepada partai ini menjadi besar.
Menurut Fauzi (1999), kebijakan hukum dalam UUPA ini sesungguhnya menentang kapitalisme yang melahirkan kolonialisme yang menyebabkan penghisapan manusia atas manusia. Selain itu, dengan UUPA sekaligus juga menentang sosialisme yang dianggap meniadakan hak-hak individu atas tanah. Politik agraria yang terkandung dalam UUPA 1960 adalah politik populisme, yang mengakui hak individu atas tanah, namun hak tersebut memiliki “fungsi sosial”. Melalui prinsip Hak Menguasai dari negara, pemerintah mengatur agar tanah-tanah dapat dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat sebagaimana termaktub dalam pasal 33 UUD 1945.
Selanjutnya, sepanjang pemerintahan Orde Baru selama tiga dasawarsa, dapat dikatakan landreform tidak dilaksanakan sama sekali. Kegiatan landreform selalu diberi cap negatif sebagai kegiatan partai terlarang PKI. Hal ini karena memang PKI dulu menjadikan program landreform sebagai alat perjuangannya. Karena segala yang berkaitan dengan PKI dilarang, maka usaha perbaikan hak penguasaan tanah pun (program landreform) menjadi negatif di mata pemerintah dan masyarakat. Meskipun demikian, usaha privatisasi tanah tetap diusahakan pemerintah Orde Baru melalui program sertifikasi tanah meskipun kurang memuaskan.
Pemerintah Orde Baru yang sangat terinpirasi dengan kemajuan ekonomi, menjadikan tanah sebagai alat pembangunan yang sentralistis, sehingga menimbulkan berbagai konflik dengan masyarakat. Hal ini misalnya, karena pemerintah hanya mengejar industrialisasi pertanian, tidak memperhatikan sama sekali aspek struktur penguasaan tanah. Pemerintah meneruskan program pembangunan perkebunan-perkebunan berskala besar dengan tanah-tanah yang luas, namun kurang memperdulikan semakin banyaknya jumlah petani yang tidak bertanah dan sangat membutuhkannya.

Rincian alur sejarang singkatnya sebagai berikut :
  1. Jaman Indonesia Merdeka ( UUPA – 1960 )
v  Setelah 15 tahun Indonesia merdeka.
v  Tepatnya tanggal 24 september 1960 lahirlah UUPA No. 5 tahun 1960, tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria.
v  Dasar hokum colonial / penjajah dihapus diganti dasar-dasar hokum baru UUPA No. 5 tahun 1960 yang diikuti dengan peraturan pemerintahan pengganti Undang – undang (Perpu) No. 56 tahun 1960 yang dikenal dengan “ Landreform “  Undang-undang yang berisi peraturan dasar. Itu memerlukan penjabaran lebih lanjut, namun celakanya sebagian besar belum tergarap, keburu pemerintahan diganti dari orde lama ke orde baru.
v  Pemerintah yang baru mengambil dasar kebijakan yang sama sekali bertolak belakang (berbeda).
v  UUPA masuk “ Peti Es ” dalam waktu yang cukup lama.
v  Ketika dikeluarkan lagi  “ Peti Es “, penggunaannya dilakukan secara menyimpang dari semangat aslinya.

  1. Jaman Orde Baru (1967 - 1998)
v  Ciri kebijakan orde baru dilandasi 2 hal yaitu :
1.      Secara Umum strategi
Pembangunannya mengandalkan bantuan, hutang dan investasi dari luar neger.
2.      Khusus dalam hal kebijakan Agraria, disadari atau tidak kebijakan pada awal orde baru mengambil jalan pintas yaitu; By pass Approach ( pendekatan jalan pintas ).
v  Berpotensi bagi terjadinya konflik Agraria mengenai pangan.
v  Orba lahir bersamaan dengan berlangsungnya Refolusi Hijau (RH) di Asia tanpa Reforma Agraria (RA).
Diambil jalan pintas mengusahakan swasembada pangan pemerintah tercapai. Tetapi konflik Agraria bukunya lenyap malah merajalela dan swasembada pangan tidak berumur panjang.
  1. Jaman Reformasi
v  Tertib PP No. 24 tahun 1997
v  Berusaha dioptimalkan cara pelaksanaannya dan penjelasan lebih lanjut.


  1. UUA Sebelum Merdeka Sampai Sesudah Merdeka
Sejarah Hukum Agraria.
v Hukum Agraria Lama yaitu yang berlaku sebelum lahirnya undang-undang Pokok Agraria (UUPA) tanggal 24 September 1960.
Hokum agraria lama bersifat dualistis, karena :
1.      Dualisme Dalam Hukum
Karena dalam hokum Agraria yang berlaku sebelum lahirnya tanggal 24 september 1960 itu kaidah-kaidahnya ada yang bersumber pada hokum adat { hokum agraria adat dan ada pula yang bersumber pada BW (hokum agraria barat), yang keduanya berlaku berdampingan }
2.      Dualisme dalam Hak (tanah) yaitu ;
a.       Tanah-tanah yang dihaki dengan hak-hak adat (hak-hak Indonesia yaitu tanah-tanah adapt/ indonesia)
b.      Tanah-tanah yang dihaki dengan hak-hak, yaitu tanah-tanah yang dihaki berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam hokum agrarian barat.
v Hukum Agraria Baru / Hukum Agraria Positif
Yaitu yang berlaku sesudah berlakunya UUPA tanggal 24 september 1960 (UU No. 5 tahun 1960) hingga sekarang ini.
a.       Berdasarkan hokum adat..
b.      Mengenai tanah asasnya horizontal/ pemisahan, maksudnya pemisahan antara pemilik tanah (permukaan bumi) dengan benda-benda yang diatasnya (lihat pasal 35 ayat 1 dan 41 ayat 1 UUPA tentang Hak guna bangunan dan Hak pakai).

Definisi Hukum Agraria
Prof. Budi Harsono, S.H. mengatakan bahwa : “ Hukum Agraria “ menurut pengertian Undang-undang Pokok agraria, adalah keseluruhan kaidah-kaidah baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur agraria.
Sedang pengertian “ Agraria “ menurut UUPA meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, bahkan dalam batas-batas tertentu, juga ruang angkasa. Dengan demikian, maka hokum agraria adalah keseluruhan kaidah-kaidah hokum baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mengatur bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya.

Latar Belakang dan Tujuan Pokok UUPA
Sebelumnya kita harus tahu apa yang menjadi latar belakang dari tujuan Pokok UUPA, yaitu; hal-hal yang melatar belakang keadaan masyarakat Indonesia khususnya yang berkaitan dengan tanah, yaitu :
v Kondisi hokum agraria sebelum berlakunya UUPA bersifat dualistis bahkan juga pluralistis (hokum agraria terpencar-pencar dalam beberapa cabang yaitu antara lain dapat ditemukan dalam hokum agraria barat, hokum antar golongan dll)
v Bahwa kondisi hokum pertanahan sebelum UUPA lebih banyak mendapatkan pengaruh-pngaruh dari sendi-sendi pemerintahan colonial yang bercorak feodalistis, sehingga menjadi feodalisme dan kapitalisme.
v Bahwa kondisi hokum agraria sebelum berlakunya UUPA tidak memberikan jaminan kepastian hokum bagi hak-hak tanah rakyat yang merupakan golongan yang terbesar dari penduduk Indonesia (hokum agraria masa lampau tidak memberikan jaminan pada rakyat kecil) karena dengan pendaftaran tanah itu hanya semata-mata hokum barat, jadi kembali lagi pada kapitalisme.
Oleh sebab itu dengan mendasarkan pada latar belakang tadi UUPA ini mempunyai tiga tujuan pokok yaitu :
v  Mengadakan unifikasi hokum yang bersifat nasional dengan meninggalkan dualisme dan pluralisme.
v  UUPA bertujuan untuk mengadakan penyederhanaan dan kesatuan hokum tanah, untuk mengarah pada kesatuan hokum.
v  Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan jaminan kepastian hokum mengenai hak-hak tanah bagi rakyat seluruhnya.


  1. Adanya Kepastian Hukum
Substansi Pertanahan secara umum diatur melalui UU No. 5 / 1960 (Agraria / UUPA) yang merupakan hukum dasar pertanahan, yang mengatur masalah pokok keagrariaan Indonesia secara garis besar. Sedangkan pelaksanaannya lebih lanjut diatur kembali melalui Undang - Undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan perundangan lainnya. Adapun maksud pemberlakuan UUPA adalah dalam rangka untuk :
a.       Meletakkan dasar - dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.
b.      Meletakkan dasar - dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan hukum, dalam hukum pertanahan.
c.       Meletakkan dasar - dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak - hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

Sertifikat Tanah.
Dalam hal pelaksanaan upaya peletakan dasar - dasar pemberian kepastian hukum atas hak - hak tanah rakyat, yang dikaitkan dengan hukum privat, yaitu kepemilikan tanah pribadi ( Orang dan Badan Hukum ). UUPA dan PP No. 24 / 1997 ( tentang Pendaftaran Tanah ) memberikan janji manis kepada masyarakat pemegang hak atas tanah, yaitu adanya jaminan kepastian dan perlindungan hukum, sebagaimana dalam :

1.      Pasal 19 ayat 1 UUPA, yang menegaskan bahwa : " Untuk menjamin kepastian hukum, oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah ".
2.      Pasal 19 ayat 2 c UUPA menegaskan bahwa setelah bidang tanah itu didaftar, Pemerintah kemudian menerbitkan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat atas kepemilikan tanah.
3.      Pasal 1 angka 11 dan Pasal 32 ayat 1 PP No. 24 / 1997, menegaskan bahwa Sertifikat adalah tanda bukti hak, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 19 ayat 2 c UUPA, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat atas kepemilikan tanah.
4.      Pasal 3 dan 4 PP No. 2 / 1997, menegaskan bahwa Kepada masyarakat yang sudah mendaftarkan tanah miliknya, diberikan sertifikat tanah, agar mereka dapat dengan mudah membuktikan diri sebagai pemegang hak, dalam rangka untuk mendapatkan jaminan kepastian dan perlindungan hukum.

Kepastian Hukum.
Jaminan kepastian hukum hak atas tanah adalah kepastian hukum yang tertuju pada kepemilikan tanah, sehingga adanya kepastian hukum hak atas tanah akan memberikan kejelasan tentang :
a.       Kepastian Subjek, yaitu kepastian mengenai si Pemegang hak ( Pemilik tanah ),
b.      Kepastian Objek, yaitu kepastian mengenai Tanahnya, seperti : Letak, Bentuk, Luas, Batas - batas dan lain sebagainya.

Kepastian terhadap kedua hal tersebut diatas sangat besar artinya, terutama dalam kaitannya dengan "lalu lintas hukum" karena dengan adanya kepastian hukum yang sedemikian itu, maka pertanyaan - pertanyaan mengenai keberadaan suatu bidang tanah dengan serta - merta akan terjawab secara otomatis.

Perlindungan Hukum.
Isyarat mengenai jaminan kepastian dan perlindungan hukum sebagaimana yang dijanjikan oleh UUPA dan PP No. 24 / 1997, untuk selanjutnya di support oleh hukum positif lainnya, yang memberikan janji perlindungan atas kepemilikan tanah dari berbagai tindak kriminal, antara lain seperti :

  1. Kitab Undang - Undang Hukum Pidana ( KUHP ) dalam beberapa pasalnya, antara lain seperti berikut ini :
v  Pasal 167 ayat 1 menegaskan bahwa " Barangsiapa memaksa masuk kedalam .................. pekarangan orang lain dengan melawan hukum diancam dengan pidana penjara 9 bulan atau denda ...... " .
v  Pasal 385 menegaskan bahwa " Diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun, Pertama : Barangsiapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum menjual, menukarkan, membebani dengan credietverband sesuatu hak tanah ........ orang lain, ........... . Kedua : Barangsiapa dengan maksud yang sama menjual, menukarkan atau membebani dengan credietverband sesuatu hak tanah Indonesia yang telah dibebani ............. tanpa memberitahukan ........ kepada pihak yang lain. Ketiga : Barangsiapa dengan maksud yang sama mengadakan credietverband mengenai sesuatu hak tanah Indonesia dengan menyembunyikan kepada pihak lain, bahwa tanah yang berhubungan dengan hak tadi sudah digadaikan. Keempat : Barangsiapa dengan maksud yang sama, menggadaikan atau menyewakan tanah dengan hak Indonesia, padahal diketahui orang lain yang mempunyai .......... hak atas tanah itu. Kelima : Barangsiapa dengan maksud yang sama, menjual atau menukarkan tanah dengan hak Indonesia yang telah digadaikan, padahal tidak diberitahukan kepada pihak lain, bahwa tanah itu telah digadaikan.Keenam : Barangsiapa dengan maksud yang sama, menjual atau menukarkan tanah dengan hak Indonesia oleh suatu masa, padahal diketahui bahwa tanah itu telah disewakan kepada orang lain untuk masa itu ".
v  Pasal 389 menegaskan bahwa " Barangsiapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum menghancurkan, memindahkan, membuang atau membikin tak dapat dipakai sesuatu yang digunakan untuk menentukan batas pekarangan, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan ".
v  Pasal 551 menegaskan bahwa " Barangsiapa tanpa wenang berjalan atau berkendaraan diatas tanah yang oleh pemiliknya dengan cara jelas dilarang memasukinya diancam dengan denda ........ ??

  1. UU No. 51 Prp / 1960 ( Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya ) jo. UU No. 1 / 1961,
v  Pasal 6 ayat 1 menegaskan bahwa " .......Maka dapat dipidana dengan hukuman kurungan selama - lamanya 3 bulan dan atau denda .........
v  Barangsiapa memakai tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah, dengan ketentuan, bahwa jika mengenai tanah-tanah perkebunan dan hutan dikecualikan ......
v  Barangsiapa mengganggu yang berhak atau kuasanya yang sah dalam menggunakan haknya atas suatu bidang tanah.
v  Barangsiapa menyuruh, mengajak, membujuk, atau menganjurkan dengan lisan atau tulisan untuk melakukan perbuatan dimaksud ............ pasal ini.
v  Barangsiapa memberi bantuan dengan cara apapun juga untuk melakukan perbuatan tersebut ......... pada pasal ini ".

  1. PP No. 24 / 1997 ( Tentang Pendaftaran Tanah ) : Pasal 32 ayat 2 " Dalam hal suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikat baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut ".  Dari penegasan - penegasan peraturan perundangan tersebut diatas, nampak jelas bahwa Sertifikat Tanah adalah tanda bukti kepemilikan tanah yang bertujuan untuk memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum terhadap kepemilikan tanah ( for the law protection  and certainty security )


  1. Administrasi Pertanahan
Administrasi pertanahan merupakan suatu usaha dan manajemen yang berkaitan dengan penyekenggaraan kebijaksanaan pemerintah di bidang pertanahan dengan mengerahkan sumber daya untuk mencapai tujuan sesuai dengan ketentuan perundangan-perundangan yang berlaku. Dengan demikian maka administrasi pertanahan merupakan bagian dari Administrasi Negara.
Tujuan pembangunan di bidang pertanahan adalah menciptakan kemakmuran dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pencapaian tujuan tersebut dilaksanakan dengan pengelolaan pertanahan dan pengembangan administrasi pertanahan. Untuk dibuatlah keputusan presiden No. 7 tahun 1979 tentang catur tertib pertanahan.
Masalah paling mendasar yang dihadapi bidang pertanahan adalah suatu kenyataan bahwa persediaan tanah selalu terbatas sedangkan kebutuhan manusia akan tanah selalu meningkat.
Factor-faktor yang menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan tanah adalah :
  1. Pertumbuhan penduduk
  2. Meningkatnya kebuuhan akan ruang sebagai akibat peningkatan kualitas hidup.
  3. Meningkatnya fungsi kota terhadap daerah sekitarnya.
  4. Terbatasnya persediaan tanah yang langsung dapat dikuasai atau dimanfaatkan.
  5. Meningkatkan pembangunan.
Dengan kondisi tersebut maka pengaturan terhadap tanah sangat dibutuhkan dan disinilah administrasi pertanahan memegang peranan yang sangat penting.

Tujuan administrasi pertanahan adalah untuk menjamin terlaksananya pembangunan yang ditangani oleh pemerintah maupun swasta, yaitu :
  1. meningjkatkan jaminan kepastian hokum hak atas tanah.
  2. meningkatkan kelancaran pelayanan kepada masyarakat.
  3. meningkatkan daya hasil guna tanah lebih bermanfaat bagi kehidupan masyarakat.

Untuk merealisasikan hal tersebut serta dalam rangka peningkatan pelayanan kepada masyarakat di bidang pertanahan maka dibuatlah kepres No. 7 tahun 1979 tentang catur tertib pertanahan, yaitu :
  1. Tertib hokum pertanahan.
  2. Tertib administrasi pertanahan.
  3. Tertib pengguna tanah.
  4. Tertib pemeliharaan tanah lingkungan hidup.

Ruang Lingkup Administrasi Pertanahan
Rusmadi Murad mengemukakan sebagai berikut, tujuan pembangunan dibidang pertanahan adalah menciptakan kemakmuran dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Ruang lingkup administrasi pertanahan :
  1. Penatagunaan tanah.
  2. Penataan penguasaan tanah.
  3. Pengurusan hak tanah.
  4. Pengukuran dan pendaftaran tanah.
Yang dimaksud administrasi niaga ( private/ bussines administrasi ) adalah kegiatan-kegiatan / proses/ usaha yang dilakukan di bidang swasta.

  1. Konsep Dasar Administrasi Pertanahan
Konsep dasar ini membahas tentang pengertian administrasi secara umum, kemudian mengaitkan dengan administrasi pertanahan, sebagai suatu konsep tersendiri, juga mengkaji pentingnya administrasi pertanahan serta ruang lingkup administrasi pertanahan.
Pada awal periode pembangunan jangka panjang tahap pertama, masalah pertanahan tidak begitu menonjol karena tanah yang diperlukan untuk pembangunan masih tersedia. Namun dewasa ini, sejalan dengan laju pembangunan dan pertumbuhan penduduk, kebutuhan akan tanah semakin meningkat. Kegiatan pembangunan misalnya pembangunan gedung-gedung pemerintah dan swasta, kawasan industri, jalan raya, pemukiman, dan prasarana kehidupan lainnya yang juga memerlukan tanah sebagai sarana utamanya.
Oleh sebab itu pengelolaan tanah dalam arti pengaturan penguasaan tanah, penatagunaan tanah, pengurusan hak-hak tanah, serta pengurusan hak-hak tanah, pengukuran dan pendaftaran tanah perlu didata dan diatur sedemikian rupa sehingga tanah dapat digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945 dalam pasal 33 ayat 3.
Dalam konteks seperti itulah maka tanah dalam tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Istilah “ dikuasai “ bukanlah berarti dimiliki, tetapi Negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia diberi wewenang untuk mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan tanah. Oleh sebab itu, maka administrasi pertanahan menjadi penting untuk menjamin tertib pembangunan khususnya di bidang pertanahan.













Daftar Pustaka



Breman, Jan. 1986. Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja di Jawa di Masa
Kolonial. Jakarta: LP3ES.
Fauzi, Noer. 1999. Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria
Indonesia. Yogyakarta: Insist Press, KPA, dan Pustaka Pelajar.
Suhendar, Endang dan Yohana Budi Winarni. 1998. Petani dan Konflik
Agraria. Bandung: Yayasan AKATIGA.
Van de Kroef. 1984. Penguasaan Tanah dan Struktur Sosial di Pedesaan Jawa
(hal. 145-167). Dalam: SMP Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (ed).
1984. Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian
di Jawa dari Masa Ke Masa. Jakarta: PT Gramedia.
Wiradi, Gunawan. 1996. Jangan Perlakukan Tanah sebagai Komoditi. Jurnal
“Analisis Sosial. Edisi 3 Juli 1996.
Boedi Harsono SH. Undang-undang Pokok Agraria. Djakarta: Djambatan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar