Sang Gheronis

Sang Gheronis
Revolusi

Cari Blog Ini

Laman

Selasa, 29 Juni 2010

STUDI HISTORIS PERKEMBANGAN ORGANISASI PEMERINTAH DAERAH DITINJAU DARI KONSEP DAN APLIKASINYA (2)

Ditulis oleh orangbuton di/pada 14 Maret 2009

C. Permasalahan
Dengan melihat perkembangan Organisasi Pemerintah daerah dari masa kemerdekaan hingga sekarang, jika dilihat dari perjalanan sejarah pembentukan daerah di Indonesia, bentuk atau susunan dalam Organisasi Pemerintah Daerah (selanjutnya disebut Susunan Organisasi) berubah-ubah sejalan dengan kondisi dan situasi waktu.
Berdasarkan pemikiran dan perkembangan metodologi ilmu pemerintahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka timbul suatu permasalahan apakah Studi Historis dapat dipelajari dalam Metodologi Ilmu Pemerintahan (MIP) dalam konteks perkembangan Organisasi Pemerintah Daerah ?
D. Studi Histori Organisasi Pemerintah Daerah
Untuk menjawab permasalahan tersebut diatas dan mengetahui secara jelas perkembangan sejarah (historis) Organisasi Pemerintah Daerah di indonesia, maka perlu kita ketahui gejalan-gejala pemerintahan yang merupakan aktifitas sosial yang berkelanjutan dan terus menerus mengalami perubahan baik secara evollutif, evolutif dipercepat ataupun revolutif. (Sadu Wasistiono 19 : 2003).
Sejalan dengan uraian diatas, Nawawi (2001 : 79-80) menjelaskan selanjutnya sumber data dalam metode penelitian historis dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1. Peninggalan material antara lain berupa candi, piramid, fosil, monumen-monumen, senjata, perhiasan, bangunan-bangunan tempat tinggal, peralatan atau perkakas kelengkapan kehidupan, benda-benda budaya, tempat-tempat keramat dan lain-lain ;
2. Peninggalan tertulis antara lain berupa prasasti, relief, daun bertulis (misalnya daun lontar), kitab-kitab, naskah-naskah perjanjian, arsib negara dan lain-lain ;
3. Peninggalan tak tertulis / budaya antara lain berupa ; cerita rakyat/dongeng, bahasa, adat-istiadat/hukum, kepercayaan dan lain-lain.
Untuk memahami gejala pemerintahan yang terjadi dari kurun waktu yang terdahulu sampai pada sekarang, dapat pula digunakan studi sejarah (historis), yang secara umum sistem sosial dapat dipahami memlalui dua model yaitu :
a. Model sinkronis ;
b. Model diakronis.
Model sinkronis adalah menggambarkan masyarakat sebagai sebuah sistem yang terdiri dari struktur dan bagiannya. Pendekatan struktur dan fungsional dalam ilmu sosial merujuk pada model sinkronis (ilmu politik, sosiologi, ekonomi, dan antropologi).(sadu wasistiono, 20 : 2003). Melihat karakteristiknya, maka dalam penulisan makalah ini kami akan mencoba membahasnya dengan menggunakan model sinkronis, yang lebih banyak di gunakan dalam ilmu pemerintahan.
Sehubungan dengan itu, Aries Djaenuri (2001) mengatakan mengenai konsep local government memiliki beberapa dimensi yaitu ; sosial, ekonomi, geografi, hukum, politik, dan dimensi administrasi. Administrasi dalam local government dengan asas desentralisasi dasar terbentuknya, dimana desentralisasi yang ada di Indonesia dan di luar secara teori ada 2 asas yang dianut dalam sistim pemerintahan (Cheema and Rondenelli : 1983), yaitu :
1. Asas Keahlian (di pusat)
2. Asas kedaerahan (di daerah) secara teori mencakup:
Muthalib dan Alikhan Akbar dalam Aries Djaenuri (2001) menyebutkan factor-faktor yang mempengaruhi local government yaitu; histories (perjalanan sejarah), culture, tradition and religious (tradisi keagamaan), geografi dan demografi, politic, economi condition dan sosial condition
Dalam pembahasan makalah ini kami menitikberatkan pada dimensi perkembangan sejarah Organisasi Pemerintah Daerah dilhat pada masa Kemerdekaan.
Dalam Organisasi Pemerintah Daerah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1974, menurut sementara pihak dikatakan merupakan gabungan nilai-nilai organisasi yang baik dari Undang-undang Pokok Pemerintahan Daerah sebelumnya. Sekalipun untuk saat ini masih dirasakan ada beberapa kelemahan. Selain itu juga dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Pemerintah Daerah adalah Kepala daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat daerah. Dengan susunan ini diharapkan ada kerjasama yang harmonis antara keduanya.
Berangkat dari gambaran dan pembahasan sebelumnya, maka yang dimaksud dengan Organisasi Pemerintahan daerah disini adalah Susunan organisasi Pemerintah daerah. Untuk mengetahui perkembangan secara historis, dibawah ini akan dibahas secara berturut-turut berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.
1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah
Menurut Undang-undang ini, susunan Pemerintahan Daerah terdiri dari Badan Perwakilan Rakyat Daerah dan Badan Eksekutif. Keduanya diketuai oleh Kepala Daerah.
Kepala Daerah sebagai organ daerah dan organ Pemerintah Pusat. Perwakilan Rakyat Daerah merupakan Badan Legislatif yang mempunyai wewenang untuk mengatur rumah tangga daerah dan menjalankan peraturan-peraturan atasan dan wewenang diantara keduanya. Badan eksekutif menjalankan pemerintahan sehari-hari.
Kedudukan Kepala Daerah menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1945 adalah seperti pada masa Hindia Belanda, yaitu mempunyai fungsi rangkap sebagai organ pemerintah daerah disamping sebagai pejabat Pemerintah Pusat di daerah. Ini menimbulkan pemerintahan dualistik, yaitu pemerintahan dalam rangka desentralisasi dan dekonsentrasi, keselarasan dalam penyelenggaraan wewenang daerah dan wewenang pusat di daerah tergantung pada kebijakan Kepala daerah masing-masing. (The Liang Gie, 68 : 1965).
Disini tampak bahwa peran Pemerintah Pusat di daerah dilaksanakan oleh Kepala Daerah selaku Kepala Wilayah sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah.
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah
Pemerintahan Daerah terdiri dari dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah, keduanya memiliki ketuanya sendiri-sendiri. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat daerah dipilih oelh dan dari para anggota DPRD. Ketua Dewan Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah.
Para Anggota Dewan Pemerintah Daerah dipilih dari anggota DPRD dengan dasar perwakilan berimbang (yaitu menurut perimbangan keuangan partai-partai yang teradapat dalam masing-masing DPRD). Jumlah anggota DPD ditentukan pula dalam Undang-undang pembentukan daerah masing-masing.
Wewenang utama dewan Pemerintah Daerah ialah menjalankan pemerintahan sehari-hari. Dalam hal ini Dewan Perwakilan Daerah sebagai keseluruhan atau masing-masing anggota untuk bidang tugasnya bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dewan Pemerintah Daerah mewakili daerahnya dimuka atau diluar pengadilan dan juga sebagai pengawas terhadap daerah-daerah setingkat dibawahnya.
Kepala daerah dapat diberhentikan oleh instansi atasan atas asal usul DPRD dari daerahnya. Masa jabatan kepala daerah tidak dibatasi lamanya. Kepala daerah menjadi ketua merangkap anggota Dewan Pemerintah Daerah dan berkedudukan sebagai wakil pejabat Pemerintah Pusat. Dalam kedudukannya sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepala daerah mengawasi pekerjaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah.
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
Organisasi Pemerintah Daerah menurut Undang-undang ini tergambar sebagi berikut : Pemerintah Daerah terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah di samping ada kepala daerah yang menjadi ketua merangkap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Anggota DPRD dipilih oleh rakyat untuk 4 (empat) tahun menurut ketentuan-ketentuan dalam suatu Undang-undang tersendiri. Anggota Dewan Pemerintah Daerah dipilih dari oleh dan anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atas dasar perwakilan berimbang menurut ketentuan dalam undang-undang pembentukan daerah. Ketua dan Wakil Ketua DPRD tidak boleh menjadi anggota Dewan Pemerintah Daerah (DPD). Seseorang yang berhenti sebagai anggota DPRD dengan sendirinya berhenti menjadi Anggota Dewan Pemerintah Daerah.
Kepala daerah mengetahui dan merangkap menjadi anggota Dewan Pemerintah Daerah. Kepala Daerah Swatantra dipilih oleh rakyat menurut aturan yang ditetapkan undang-undang. Demikian cara pengangkatan dan pemberhentiannya. Tetapi berhubung keadaan dan perkembangan masyarakat daerah-daerah dewasa ini belum menjamin berlangsungnya pemilihan Kepala Daerah oleh rakyat, maka untuk sementara Kepala Daerah Swantantra dipilih oleh DPRD untuk 4 (empat) tahun, pemilihan itu dapat diambilkan dari anggota DPRD atau orang luar yang memenuhi syarat.
Kepala Daerah Istimewa Tingkat I diangkat oleh Presiden, sedangkan untuk daerah tingkat II dan III oleh Menteri Dalam Negeri atau penguasa yang ditunjuknya. Pengangkatan itu diambil dari calon yang diajukan DPRD dari keturunan keluarga Swapraja (kerajaan) yang berkuasa dijaman sebelum RI merdeka dan yang masih menguasai daerahnya, tentunya dengan memperhatikan syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan.
Disini Kepala Daerah menjadi alat daerah yang murni artinya menjalankan pemerintahan daerah secara kolegial bersma-sama dengan anggota Dewan Perwakilan Daerah lainnya.
4. Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1954 tentang Pemerintah Daerah
Dalam Penetapan Presiden tersebut terjadi perubahan secara mendasar dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1975 yang dijelaskan bahwa pemerintah terdiri dari Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Kepala Daerah mempunyai peran ganda, yaitu sebagai pimpinan dari pemerintahan umum pusat di daerah dan pimpinan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Kepala Daerah tidak bertanggungjawab kepada DPRD dan oleh karena itu tidak dapat diberhentikan oleh DPRD.
Dalam penyelenggaraan tugasnya, Kepala Daerah dibantu sebuah Badan Pemerintah Harian (BPH), anggota badan ini sedapatnya diangkat dari calon yang diajukan oleh DPRD. Anggota BPH merupakan pembantu Kepala Daerah dan bebas dari keanggotaan Partai Politik.
Tugas BPH, memberikan pertimbangan kepada Kepala Daerah baik diminta atau tidak dan menjalankan bidang pekerjaan yang ditugaskan Kepala Daerah.
Dengan keluarnya Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 dualisme pemerintah dihapuskan, kekuasaan otonomi, medebewind dan dekonsentrasi kepada Kepala Daerah yang berfungsi sebagai organ daerah dan juga sebagai pejabat pusat. Selanjutnya dikeluarkan Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1960 tentang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong dan Sekretaris Daerah, yang pada hakekatnya merupakan satu penetapan untuk membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong di daerah-daerah termasuk dapat juga dibentuk susunan pemerintah daerah dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan Negara. Disamping itu penetapan presiden juga memperbaharui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menjalankan tugas otonomi dan tugas pemerintahan umum pusat.
Sekretaris daerah dimaksud dipimpin oleh Sekretaris Daerah sebagai alat daerah dan alat pusat. Mengingat pentingnya jabatan ini maka persyaratan kecakapan menjadi unsur utama.
Sekretaris Daerah tersebut dipilih dan diangkat oleh DPRGR di antara calon-calon yang diajukan Kepala Daerah.
5. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
Dari pasal-pasal dan penjelasannya dapat dikemukakan susunan pemerintah daerah sebagai berikut :
- Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ;
- Kepala Daerah dalam menjalankan Pemerintahan sehari-hari di bantu oleh wakil Kepala Daerah dan Badan Pemerintah Daerah ;
- Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mempunyai pimpinan yang teridiri dari seorang ketua dan beberapa wakil ketua yang jumlahnya menjamin poros Nasakom ;
- Penyelenggaraan administrasi yang berhubungan dengan seluruh tugas pemerintahan daerah dilakukan oleh Sekretaris Daerah.
Kepala Daerah diangkat dan diberhentikan oleh :
a. Presiden bagi Daerah Tingkat I ;
b. Menteri Dalam Negeri dengan persetujuan Presiden bagi Daerah Tingkat II ;
c. Kepala Daerah Tingkat I dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri bagi Daerah Tingkat II.
Posisi Kepala Daerah tergambar sebagai berikut :
ü Kepala Daerah memegang memegang jabatan untuk masa 5 tahun atau masa yang sama dengan masa duduk DPRD ;
ü Kepala Daerah tidak dapat diberhentikan karena sesuatu keputusan DPRD kecuali apabila penguasa yangberhak mengangkat menghendakinya ;
ü Kepala Daerah adalah pegawai negara, pelaksana politik pemerintah dan bertanggungjawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri menurut hirarki yang ada :
a. Sebagai alat Pemerintah Pusat, Kepala Daerah :
1) Memegang pimpinan kebijaksanaan politik potensionil daerahnya, dengan mengindahkan wewenang-wewenang yang ada pada pejabat yang bersangkutan berdasarkan peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku ;
2) Menyelenggarakan koordinasi antara jawatan-jawatan dengan pemerintah daerah ;
3) Melakukan pengawasan atas jalannya pemerintah daerah ;
4) Menjalankan tugas-tugas lain yang diserahkan kepadanya oleh pemerintah pusat.
b. Sebagai alat pemerintah daerah Kepala Daerah memimpin peleksanaan kekuasaan eksekutif Pemerintah Daerah baik dibidang urusan rumah tangga daerah maupun di bidang perbantuan.
Kepala Daerah memberikan pertanggungjawaban sekurang-kurangnya sekali setahun kepada DPRD atau apabila diminta oleh dewan tersebut atau apabila dipandang perlu oleh Kepala Daerah sendiri. Dalam hubungan ini Kepala Daerah tidak dapat dijatuhkan oleh DPRD. Kepala Daerah merupakan wakil dari pada daerahnya di dalam dan diluar pengadilan.
Dalam Undang-undang ini tampak jelas sebagaimana yang dikemukakan oleh Darumurti dan Rauta, (2000), bahwa Kepala Daerah hanya sebagai alat Pusat dan Pusat sepenuhnya mengendalikan daerah. Mengenai campur tangan atau pengendalian Pusat terhadap daerah ini, antara lain juga tampak dalam hal :
a. Melakukan pengawasan atas jalannya Pemerintahan daerah ;
b. Kepala Daerah (sebagai alat Pusat) mempunyai kekuasaan utnuk menangguhkan keputusan DPRD apabila bertentangan dengan GBHN dan kepentingan umum serta Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi tingkatannya ;
c. Kepala Daerah disahkan (diangkat) oleh presiden untuk daerah Tingkat I dan Menteri Dalam Negeri atas Persetujuan Presiden untuk daerah Tingkat II. Kepala Daerah yang diangkat dapat dari orang-orang di luar calon yang diajukan oleh DPRD.
Mengenai Badan Pemerintah Harian, Undang-undang ini menetapkan bahwa dalam Undang-undang pembentukan daerah yang bersangkutan jumlah anggota Badan Pemerintah Harian menurut kebutuhan :
a. Bagi Daerah Tingkat I sekurang-kurangnya 7 orang ;
b. Bagi Daerah Tingkat II sekurang-kurangnya 5 orang ;
c. Bagi Daerah Tingkat III sekurang-kurangnya 7 orang ;
6. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
Bertolak dari kelemahan-kelemahan Undang-undang sebelumnya, maka pada masa pemerintahan Orde baru dilakukan perombakan mendasar dalam penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, melalui kebijakan yang tertuang di garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973, yang antara lain mengatakan :
a. Asas desentralisai digunakan seimbang dengan asas dekonsentrasi dimana asas dekonsentrasi tidak lagi dipandang sebagai suplemen atau pelengkap dari asas desentralisasi ;
b. Prinsip yang dianut tidak lagi prinsip otonomi yang seluas-luasnya, melainkan otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Di kemudian hari, MPR dengan ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978 menambahkan kata dinamis di samping kata nyata dan bertanggungjawab.
Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Dalam Undang-undang ini juga menganut prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip ini dianut untuk mengganti sistem otonomi rill dan seluas-luasnya yang dianut oleh Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965.
Kalau dilihat dari susunan Pemerintahan Daerah dimana dalam Undang-undang ini menyatakan bahwa Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah dan DPRD. Susunan yang demiukian dimaksudkan untuk menghilangkan kesan yang ada dalam Undang-Undang tersebut, dimana eksistensi dan peran DPRD lebih banyak “didominasi” oleh kepala daerah sehingga kepala daerah merupakan komponen utama dalam penyelenggaran pemerintahan di daerah, hal mana tampak dengan adanya predikat sebagai Penguasa Tunggal yang melekat dalam jabatan tersebut.
Sejalan dengan kebijaksanaan itu, posisi Kepala Daerah/wilayah senagaja diletakkan pada titik yang lebih mendekat kepada pusat, dengan peranan yang mengarah kepada upaya agar keinginan daerah tidak dimanifestasikan dalam bentuk tuntutan yang “memaksa” Pemerintah Pusat.
Konstruksi seperti itu diharapkan akan menjamin tumbuhnya kerjasama yang serasi antara kedua unsur, demi terwujudnya tertib pemerintahan di daerah. Ada pembagian tugas yang jelas antara kepala Daerah dengan DPRD yaitu Kepala daerah memimpin bidang eksekutif dan DPRD membuat Peraturan Daerah, dan peraturan daerah yang dibuat bersama itu ditandatangani oleh Kepela Daerah dan Ketua DPRD. Walaupun DPRD unsur pemerintah daerah tetapi tidak boleh mencampuri bidang eksekutif, karena bidang eksekutif adalah wewenang dan tanggungjawab Kepala Daerah. (Mustari Pide, A., 135 : 1999)
Kepala Daerah Tingkat II karena jabatannya adalah Kepala Wilayah kabupaten atau Kotamadya, karena itu disebut Kepala Wilayah Kabupaten dan Kepala Daerah Tingkat II disatukan menjadi Bupati Kepala Daerah Tingkat II dan sebutan Kepala Wilayah Kotamadya disatukan menjadi Walikotamadya Kepala Daerah Tingakat II (Instruksi Menteri dalam Negeri Nomor 26 Tahun 1974 tentang Peleksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974).
Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 menganut sistem otonomi materiil. Sehingga bentuk Dinas Daerah melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 363 Tahun 1977 tentang Pedoman Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah, yang mana dalam pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa : “yang dimaksud dengan Dinas Daerah Tingkat I dan Dinas Daerah Tingkat II, yang dibentuk berdasarkan terjadinya penyerahan sebagian urusan Pusat kepada Daerah berdasarkan Peraturan Pemerintah”. (Sujamto, 1984 : 116).
Ketentuan tersebut diatas merupakan pelaksanaan yang konsekuen kepada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 yang dalam penjelasan umumnya antara laian menyatakan bahwa : “Dinas Daerah adalah unsur pelaksana Pemerintah Daerah. Urusan-urusan yang diselenggarakan oleh Dinas-dinas Daerah adalah urusan-urusan yang telah menjadi urusan rumah tangga daerah. Pembentukan Dinas daerah untuk melaksnakan urusan-urusan yang menajdi wewenang Pemerintah Pusat dan belum diserahkan kepada Daerah dengan suatu undang-undang atau Peraturan Pemerintah menjadi urusan rumah tangganya, tidak dibenarkan”.
7. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Beberapa perubahan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 lebih banyak bersifat mendasar, sehingga memperlihatkan paradigma baru tentang pemerintahan daerah. Perubahan yang mendasar dalam UU ini dimaksud menyangkut asas-asas penyelenggaraan pemerintahan daerah; pembagian wilayah; kewenangan daerah otonom; prinsip otonomi daerah; susunan pemerintahan daerah; mekanisme pencalonan, pemilihan, pengangkatan, dan pertanggungjawaban kepala daerah; mekanisme pengawasan; prosedur penyusunan peraturan daerah dan keputusan kepala daerah; serta penyatuan pengaturan tentang Pemerintahan Desa dan Kelurahan dengan pemerintahan daerah.
Dilihat dari susunan pemerintahan daerah pada Undang-undang ini dinyatakan bahwa Pemerintahan Daerah terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pemerintah daerah. DPRD merupakan Badan Legislatif daerah sedangkan Pemerintah Daerah merupakan Badan Eksekutif Daerah.
Pemerintah Daerah teridiri atas Kepala daerah dan Perangkat Daerah lainnya. Kepala daerah Propinsi disebut Gubernur, Kepala Daerah Kabupaten disebut Bupati, Kepala daerah Kota disebut Walikota. Kepala Daerah Propinsi karena jabatannya adalah juga Kepala Daerah administrasi sebagai Wakil Pemerintah.
Di samping itu, dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 ini, yang melakukan pemisahan DPRD dari Pemerintah Daerah juga dimaksudkan untuk menempatkan DPRD sebagai komponen penting dan sentral dalam menjalankan pemerintahan dan pembangunan di daerah. Pemikiran demikian merupakan usaha perwujudan prinsip kedaulatan rakyat di tingkat daerah, yang tercermin dengan adanya keikutsertaan rakyat lewat lembaga perwakilan di daerah (DPRD) dalam menentukan kebijakan pemerintahan dan pembangunan di daerah yang bersangkutan.
Perwujudan prinsip kedaulatan rakyat di daerah termanifestasi lebih lanjut lewat pemberian peran yang relatif lebih besar kepada DPRD dalam menjalankan fungsinya, yaitu fungsi pembuatan peraturan perundang-undangan (legislative function), fungsi perwakilan (representative function), dan fungsi pengawasan (control function).
Untuk menjalankan fungsi tersebut diatas, kepada DPRD diberikan hak-hak tertentu, yaitu hak meminta pertanggungjawaban gubernur, bupati dan wlikota, hak meminta keterangan-keterangan kepada Pemerintah Daerah (hak interpelasi), hak mengadakan penyelidikan hak angket), hak mengadakan perubahan atas rancangan peraturan daerah (hak amandemen), hak mengajukan rancangan peraturan daerah Ihak inisiatif) , hak menentukan anggaran belanja DPRD (hak budget), dan hak menetapkan peraturan tata tertib DPRD (pasal 19 Undang-undang Nomor 22 tahun 1999)
Dalam hal pertanggungjawaban kepala daerah yang diatur dalam Undang-undang ini, bahwa Kepala Daerah wajib menyampaikan pertanggungjawaban kepadsa DPRD pada setiap akhir tahun anggaran, atau atas permintaan DPRD untuk hal-hal tertentu (pasal 45). Dalam menjalankan tugasnya sebagai kepala daerah, Gubernur bertanggungjawab kepada DPRD propinsi. Dalam kedudukannya sebagai wakil pemerintah, Gubernur berada dibawah dan bertanggungjawab kepada Presiden (pasal 31 ayat 2 dan 4). Dalam menjalankan tugas dan kewenangan selaku kepala daerah, Bupati/Walikota bertanggungjawab kepada DPRD Kabupaten/Kota (pasal 32 ayat 4).
8. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Dengan Undang-undang ini, kebijakan desentralisasi menjadi lebih lebih ketat. Kewenangan yang tadinya sangat luas diberikan kepada daerah, pelan-pelan mulai di tarik kembali kepusat.
Dalam pemberian kewenangan kepada daerah melaui Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten / Kota yang tadinya daerah memiliki kewenangan yang diberikan untut menyelenggarakan kewenangan itu secara utuh kali ini diatur lebih detail termasuk bagaimana peranan pemerintah pusat dan pemerintah Provinsi dalam penyelenggaraan kegiatan tersebut.
Dalam pembentukan Organisasi Perangkat Daerah, pemerintah pusat mengeluarkan rambu-rambu yang sangat ketat mulai dari besaran organisasi sampai dengan jumlah dengan jumlah SKPD yang boleh didirikan bagi suatu daerah tertentu menurut syarat-syarat yang yang telah ditentukan.
E. Penutup
Kehadiran Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai Pengganti Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang seyogyanya dimaknai sebagai manifestasi pesan konstitusional yang termaktub dalam Pasal 18 Undang-Undang dasar 1945, yang selama era pemerintahan orde baru belum diwujudkan secara konsisten.
Demikian kami mencoba mengaplikasikan pemikiran dan konsep dari studi historis dengan melihat perkembangan Organisasi Pemerintah Daerah dalam konteks otonomi daerah sepanjang sejarah yang kesemuanya tersebut dimaksudkan dalam rangka pengembangan ilmu pemerintahan, yang dikaitkan dengan fungsi penelitian adalah mencari penjelasan dan jawaban terhadap permasalahan serta memberikan alternatif bagi kemungkinan yang dapat digunakan untuk pemecahan masalah.
Daftar Pustaka
A. Buku-Buku
Adian, D., Gahral, 2002, Menyoal Obyektivisme Ilmu Pengetahuan, Teraju, Jakata.
Cheema and Rondinelli, 1983, Decentralization and Development-Policy Implementation in Developing Countries, Sage Publications, Beverly Hills/London/New Delhi.
Darumurti, K. D,. dan Rauta, U., 2000, Otonomi Daerah Perkembangan Pemikiran dan Pelaksanaan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Djaenuri, Aries, 2001, Perbandingan Pemerintahan Lokal (Perbandingan Sistem Pemerintahan Daerah di Berbagai Negara), IIP, Jakarta
Djohan, Djohermansyah, 1997, Fenomena Pemerintahan, Yasrif Watampone, Jakarta.
Manan, Bagir, 1994, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Musa, M.,Nurfitri, Titi, 1988, Metodologi Penelitian, Fajar Agung, Jakarta.
Muslimin, Amrah, 1986, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Penerbit Alumni, Bandung.
Mustari p., A., 199, Otonomi daerah dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI, Penerbit Gaya Media Pratama, Jakarta.
Ndara, Taliziduhu, 1997, Metodologi Ilmu Pemerintahan, Bhineka Cipta, Jakarta.
Narbuko, Cholid, and Ahmadi, Abu, 1997, Metodologi Penelitian, Bumi Aksara Jakarta.
Nawawi, Hadari., 2001, Metode Penelitian Bidang Sosial, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Sujamto, 1984, Otonomi Daerah yang Nyata dan Bertanggung Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Sumargono, 1995, Jati Diri Ilmu Pemerintahan ; Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Institut Ilmu Pemerintahan, Jakarta.
Taryadi, Alfons, 1989, Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl R. Popper. Penerbit Pt Gramedia. Jakarta.
Van Ylst, Franciscus, 1998, Hakekat Ilmu Pemerintahan, Tesis S2 Universitas Indonesia. Tidak Dipublikasikan.
Wajong, J., 1975, Asas dan Tujuan Pemerintah Daerah, Jakarta.
Wallerstein, Immanuel, 1997. Lintas Batas Ilmu Sosial, Terjemahan. Penerbit LKiS, Yogyakarta.
Wasistiono, Sadu, 2001, Esensi UU NO.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Bunga Rampai), Alqaprint, Jatinangor.
————-, 2002, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Alqaprint, Jatinangor.
————-, 2003, Materi Kuliah Metodelogi Ilmu Pemerintahan, Pasca Sarjana STPDN, Jatinangor.
C. Jurnal
Muchsan, 2000, Jurnal Ilmu Sosial Transformasi (Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 : Perspektif Yuridis, Insist Press, Yogyakarta.
Pamudji, Soeparni, XIX, Makna Daerah Tingkat II Sebagai Titik Berat Pelaksanaan Otonomi Daerah, CSIS.
D. Peraturan Perundang-undangan
Himpunan Peraturan Pemerintah Daerah 1988-1991, Penerbit CV. Eko Jaya, Jakarta, 1972.
Surianingrat, B., dan Marsono, 1972, Himpunan Peraturan Perundangan mengenai Pemerintah Daerah, Jilid I s/d III, Penerbit Percetakan Baru, Bandung.
Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar