Sang Gheronis

Sang Gheronis
Revolusi

Cari Blog Ini

Laman

Selasa, 29 Juni 2010

Materi

Sejarah Singkat

A. Masa Kolonial

            Keberhasilan politik Cultuur Stelsel (Sistem Tanam Paksa) -penggabungan antara usaha membangun perkebunan dan pertanian yang menanam tanaman komoditi yang sangat menguntungkan serta pabrik pengolahannya dengan administrasi yang modern, akan tetapi dalam mobilisasi tanah dan tenaga kerja adalah tanggung jawab para tuan tanah-tuan tanah yang memiliki pengaruh yang kuat hingga tingkat desa. Sistem Tanam Paksa tidak merencanakan apalagi berkehendak untuk membangun industri di Indonesia. Dalam hal ini, kelompok penjajah hanya membangun perkebunan besar yang diurus secara modern oleh tenaga-tenaga rendahan dari kaum inlander yang sedikit mengerti baca dan tulis saja. Perkebunan yang dibangun ini menghasilkan komoditi bernilai tinggi seperti kopi, teh, gula nila, tembakau, kayu manis dan kapas yang menjadi primadona dalam perdagangan dunia saat itu. Singkatnya negeri jajahan (Indonesia) hanya dijadikan pelayanan atas keperluan industri negara kapitalis Eropa.
            Pada perjalanannya Sistem Tanam Paksa yang digagas Gubernur Jendral Van Den Bosch, selama periode tahun 1830-1870 mengakibatkan peluberan pada kas keuangan Belanda. Eksploitasi besar-besaran terjadi, ini dapat dilihat melalui angka keuntungan selama periode ini. Dari tahun 1831-1840 keuntungan rata-rata pertahun mencapai f 9,3 Juta, bertambah di tahun 1841-1850 mencapai f 14,1 Juta (Kartodirdjo, 1993;312).
            Sistem ini megeruk kekayaan di bumi  nusantara dan tidak meninggalkan sedikitpun  sisa untuk membina kehidupan penduduk, termasuk meningkatkan taraf kebudayaan rakyat melalui pendidikan. Sistem Tanam Paksa hanya melahirkan penderitaan dan penghisapan bagi rakyat jajahan. Adapun bentuk penghisapan  yang melahirkan penderitaan rakyat jajahan adalah : Para petani harus menyerahkan seperlima dari tanahnya untuk tanaman wajib, termasuk tanah-tanah yasan, tanah pusaka (tanah waris) harus diserahkan yang pada kenyataannya tidaklah seperlima melainkan duapertiga bahkan terkadang seluruhnya. Penduduk pedesaan terkena kerja wajib 66 hari setahun dengan mendapat plantloon (upah tanam) yang pada kenyataannya bekerja wajib tidak 66 hari melainkan paling minimal tiga bulan dan tanpa dibayar. Mereka hanya diberi makan dan tempat tinggal di atas perkebunan yang menyerupai kandang kambing, sehingga banyak yang mati karena menderita kelaparan dan terjangkit berbagai jenis penyakit. Di Deli, pembangunan perkebunan Sumatera Timur memerlukan sangat banyak tenaga kerja untuk membuka hutan, mengolah hingga menanam tanaman tembakau.
Perkebunan mengeluarkan apa yang disebut Poenale Sanctie, sebuah peraturan yang sangat menindas para buruh. Yaitu keharusan bagi pekerja untuk tidak meninggalkan pekerjaan sebelum habis kontrak. Demikian pula dengan pembangunan tranportasi modern seperti kereta api telah melahirkan buruh kereta api. Berdirinya bengkel mesin telah melahirkan buruh bengkel, bertambahnya buruh-buruh pelabuhan, buruh angkut dan lain sebagainya. Hal yang telah berlangsung sejak zaman Daendels dan Raffles. Pemiskinan massal rakyat jajahan juga ada kaitannya dengan penggunaan uang sebagai alat tukar, baik untuk upah maupun dalam tansaksi jual beli.
            Penindasan muncul maka perlawananpun bangkit Penderitaan akibat penindasan dan penghisapan di luar batas kemanusiaan ini dijawab oleh rakyat -para petani, buruh tani, kaum herediensten- dengan pemberontakan, pemogokan dari bentuk yang paling damai hingga bentuk yang paling keras dan berdarah. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya gejolak antara tahun 1810-1870 terjadi 19 kali huru hara akibat kerja paksa dan beban pajak. Keadaan masyarakat jajahan seperti inilah -yang lemah secara ekonomi (miskin), terbelakang secara kebudayaan dan tidak maju cara berfikirnya- kemudian dimanfaatkan kaum liberal Belanda untuk mengkritik pemerintah Belanda. Singkatnya, kaum liberal hanya memanfaatkan rakyat yang sedang massif dan memuncak dengan maksud mendesak kalangan konservatif untuk menyerahkan usaha di tanah jajahan kepada mereka.
            Menjelang akhir tahun 1870 wakil-wakil golongan liberal berhasil menguasai suara di parlemen Belanda. Mereka mengkritik Sistem Tanam Paksa dengan menggunakan kemiskinan dan kelaparan di rakyat Hindia-Belanda sebagai tameng untuk menggantikan peranan pemerintah Belanda yang konservatif dan anti rakyat yang terus melakukan eksploitasi di Hindia-Belanda. Sejatinya, kelompok liberal hanya menyoroti betapa besarnya keuntungan yang diterima Pemerintahan Jajahan Belanda dari tanah jajahan (Indonesia), dan kalangan liberal juga berkeinginan agar keuntungan itu dapat mereka ambil alih. Banyaknya keuntungan yang diperoleh oleh pemerintah Belanda sangat menggiurkan kalangan liberal dan menjadi pemantik pertentangan dengan pemerintah Belanda.
Ketika kalangan liberal berkuasa pada prakteknya mereka tidak berbeda dengan pemerintah Belanda. Kalangan liberal tidak menghiraukan nasib penduduk jajahan. Buktinya, ketika mereka masuk ke Indonesia dan menguasai pabrik-pabrik gula, perkebunan dan pertanian pada umumnya, penindasan tidak berkurang akan tetapi justru semakin bertambah. Adapun bentuk penindasannya adalah diterapkannya politik etis. Golongan liberal ini dalam mencapai maksudnya menggunakan program Politik Etis yang dikemudian hari dikenal sebagai politik “balas budi” yang isinya adalah; Edukasi (pendidikan), Irigasi (pengairan), Transmigrasi (perpindahan penduduk).
Politik Etis, khususnya program pendidikan untuk kalangan priyayi bertujuan untuk mengefisienkan birokrasi juga sebagai upaya untuk menjaga hubungan baik (“bonus’) dengan Residen, Wedana, asisten Wedana dan demang yang sukses menjadi antek. Sementara irigasi pada dasarnya hanyalah untuk melayani kemajuan industri gula dan perkebunan pada umumnya, sedangkan transmigrasi jelas hanya untuk mobilisasi tenaga kerja murah dengan cara membuka lahan baru untuk perkebunan. Dalam prakteknya, terjadi ketimpangan antara edukasi, irigasi dan transmigrasi. Soal edukasi diabaikan, hanya sebagai formalitas belaka karena hakekat dari politik etis ini bukanlah meningkatkan taraf berfikir dan kebudayaan rakyat jajahan dengan didirikannya fasilitas (sekolah-sekolah) dan melaksanakan pendidikan secara massal melainkan upaya pengerukan sumber kekayaan negeri jajahan dengan cara yang “humanis”.
Kemenangan kalangan liberal atas kaum konservatif, yang didukung oleh pemberlakuan Agrarische Wet (Undang-undang Agraria) tahun 1870 yaitu  sebuah produk hukum kolonial yang memberikan kesempatan kepada pemerintahan kolonial untuk merampas semakin banyak tanah. Undang-undang ini pada hakekatnya adalah pengakuan terhadap hak milik perseorangan (eigendom) dengan memberikan sertifikat terhadap tanah garapan sebagai perlindungan hukum. Di sisi lain tanah-tanah yang tidak digarap adalah tanah milik negara, dalam hal ini pemerintahan kolonial. Tanah inilah yang kemudian diberikan kepada para investor asing, dan juga mereka dijamin haknya untuk menyewa tanah-tanah milik penduduk sekaligus dapat menjadikan penduduk sebagai buruhnya. Konsesi yang diberikan oleh pemerintah kolonial kepada para investor tersebut lagi-lagi telah mengakibatkan rakyat kehilangan tanah secara besar-besaran. Kemenangan ini membawa dampak pada sistem ekonomi dan politik di daerah kolonial. Peralihan usaha-usaha dari Sistem Tanam Paksa ke tangan pengusaha swasta, mulai dari perkebunan dan pabrik gula, serta beberapa perusahaan lainnya termasuk NHM (Nederlandsche Handels Maatschappij) pemegang monopoli hak pengangkutan dan perdagangan hasil produksi di Jawa ke pasar dunia harus diakui telah membawa perubahan dan perkembangan baru dalam ekonomi tanah jajahan. Hal ini terutama terkait dengan masuknya investor-investor Eropa baik dari Belanda sendiri maupun dari negara-negara Eropa lainnya, karena dukungan kebijakan dari pemerintahan kolonial, yaitu lahirnya Agrarische Wet 1870.
Kebutuhan terhadap sumber daya manusia yang dapat dipekerjakan memaksa Belanda merubah pola penindasan dan eksploitasinya dengan cara yang lebih halus. Akhirnya politik etis yang isinya adalah; Edukasi (pendidikan), Irigasi (pengairan), Transmigrasi (perpindahan penduduk) sebagai alternatif yang cukup “humanis” diterapkan di Indonesia, negeri jajahan mereka.
Industri komoditi Belanda yang dikembangkan sejak akhir abad 19 sampai awal abad 20, melahirkan kebutuhan akan sarana transportasi, pertanian, dan kesehatan. Sehingga dibutuhkan tenaga kerja dengan ketrampilan tertentu. Perkembangan industri kolonial perkebunan swasta    ( yang menggantikan sistem tanam paksa atau cultuurstelsel), seperti pabrik gula, dan kereta api, mengharuskan pemerintah kolonial untuk menyediakan tenaga-tenaga trampil yang akan menjalankannya. Artinya tenaga-tenaga produktif yang siap mengoperasikan perkebunan, pabrik gula, transportasi kereta api adalah sebuah kemutlakan. Sementara itu di tanah jajajahan sendiri tenaga yang dimaksudkan belum tersedia. Untuk menjalankan penghisapan, setidaknya ada tiga soal sekaligus yang diihadapai oleh pemerintah kolonial. Yaitu soal tenaga produktif yang memiliki ketrampilan tertentu untuk menjalankan usaha-usaha penghisapan dan soal belum tersedianya tenaga yang dimaksud di negeri jajahan, sementara soal lain adalah bila tetap mengandalkan tenaga dari negeri penjajah membutuhkan biaya tinggi, menghabiskan anggaran belanja (Comptabiliteits) dan tidak efisien tentunya. Sebab tenaga dari negeri penjajah tersebut relatif memiliki skill yang “tinggi” karena ditunjang oleh latar belakang pendidikan modern pada masa itu, sudah tentu tidak mau dibayar dengan upah yang rendah.
Untuk mengatasi persoalan ini, Pemerintahan kolonial menempuh dua pekerjaan secara bersamaan. Yaitu tetap menggunakan tenaga-tenaga trampil dari negara sendiri  dengan cara “mengimpor” dan sifatnya sementara. Bersifat sementara karena kegiatan “impor” ini dilakukan bukan tanpa batas waktu. “Impor” sementara ini dilakukan sembari juga menunggu hasil dari pekerjaan yang  lainnya yaitu mendidik anak-anak pribumi terutama dari kalangan priyayi yang telah menjalin hubungan baik dengan pemerintah kolonial. Anak-anak priyayi ini “diasuh” oleh pemerintahan kolonial Belanda dalam asrama sekolah- asrama sekolah yang didirikan untuk dijadikan tenaga yang sekedar dapat baca tulis dan sedikit mengerti hitung untuk selanjutnya dipergunakan sesuai rencana awal, dipekerjakan dengan upah yang rendah!.
 Pada masa-masa ini banyak didirikan sekolah-sekolah yang tujuannya untuk memproduksi  tenaga-tenaga trampil yang akan mengoperasikan perkebunan, perusahaan kolonial dan birokrasi kolonial. Jumlah sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda paska politik etis semakin membesar.  Munculnya sekolah hukum (Rechts School) pada tahun 1909 untuk menciptakan ahli-ahli hukum yang diperbantukan pada kejaksaan dan pengadilan. Sekolah pertanian juga didirikan pada abad ke-20 tetapi hanya untuk mencetak tenaga-tenaga rendahan saja. Pada tahun 1876 pernah didirikan lagi sebuah Landbouwschool  yang dimasuki oleh putra-putra dari golongan priyayi, tetapi sekolah ini ditutup pada tahun 1884. Baru pada tahun 1903 didirikan lagi sebuah sekolah pertanian di Bogor dengan taraf pendidikan rendah. Pada tahun 1911 sekolah ini ditingkatkan menjadi sekolah menengah. Sekolah formal dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda di Tondano(1873), Amboina (1874), Banjarmasin (1875), Makasar (1876), Padang Sidempuan (1879) dan juga di daerah Indonesia Timur. Sekolah vak lainnya yang penting adalah sekolah pegawai Pamong Praja. Mula-mula tenaga pamong praja dihasilkan di Hoofdenschool pada tahun 1892 dihapus kecuali di Magelang. Pada tahun 1900 sekolah di Magelang itu dubah menjadi Opleiding school vor Inlandsche Ambtenaaren (OSVIA). Salah satunya, pemerintah Hindia Belanda mendirikan pula suatu sekolah kedokteran tingkat menengah pada tahun 1902 dengan nama School Tot Opleding van Inlandsche Artsen (STOVIA). Tujuan didirikannya sekolah ini adalah untuk menciptakan tenaga-tenaga medis di daerah.
Selain itu , pemerintah jajahan juga telah mendirikan sekolah formal pada masa pra politik etis yaitu : Sekolah formal yang pertama kali dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1852 adalah sekolah yang ditujukan untuk pemenuhan tenaga pengajar, yaitu sekolah guru (kweekschool) di Solo. Kemudian disusul dengan sejumlah sekolah sejenis, di Bukit Tinggi (1856), Probolinggo  dan Bandung (1866), Tanah Batu (1862), Sekolah Dokter Jawa (1851)dan dibuka sekolah mantri cacar (1849)
Awal perkembangan sistem pendidikan kolonial tidak dapat dilepaskan dari suatu politik kolonial baru yang dimulai sejak awal abad ke-20 dan yang sering disebut sebagai politik etis. Pendidikan atau sekolah pada masa politik etis ada bukan karena keinginan pemerintah Belanda untuk meningkatkan pengetahuan bangsa Indonesia.  Pemerintah Belanda mendirikan sekolah semata-mata untuk memperoleh tenaga kerja murah yang terampil dari bangsa Indonesia.  Sekolah-sekolah tersebut pun, hanya dinikmati oleh masyarakat golongan atas saja. Mereka yang dapat menikmati sekolah hanya terbatas pada, Orang Belanda, Eropa, golongan Indo, golongan priyayi pribumi dan  masayarakat Asia dan Timur jauh.
Kebutuhan akan tenaga kerja dengan kemampuan baca tulis pada akhirnya memberikan sedikit peluang bagi masyarakat Indonesia untuk masuk dalam institusi sekolah. Maka, dibentuklah sekolah dasar bagi bumiputra pada tahun 1893.  Sekolah bumiputra tersebut adalah Sekolah Bumiputra Angka Satu untuk kalangan priayi dan Sekolah Pribumi Angka Dua untuk anak-anak dari rakyat jelata. Ketika terjadi krisis ekonomi tahun 1929 Sekolah Angka Dua ini ditutup.
Pada masa ini kurikulum disesuaikan dengan kurikulum pengajaran di Negeri Belanda, oleh karenanya para lulusan di sekolah – sekolah di Indonesia (dengan kriteria – kriteria yang diskriminatif) dapat melanjutkan studinya ke Negeri Belanda. Pada masa ini, Sekolah tetaplah hanya milik bangsa Eropa, anak kaum bangsawan dan pegawai pemerintahan (golongan menengah). Oleh karenanya, para pribumi yang sadar akan diskriminasi tersebut, mulai mendirikan sekolah – sekolah Swasta yang penerimaan siswanya lebih terbuka seperti Taman Siswa (yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara), Muhammadiyah (Ahmad Dahlan), Sekolah Sarekat Islam (Tan Malaka), Zending, dan lain – lainnya.
            Sistem pendidikan kolonial ini kemudian memunculkan kelompok masyarakat baru, yaitu kelompok masyarakat priyayi yang tidak lagi  berdasarkan garis keturunan melainkan berdasarkan tingkat pendidikan.  Kelompok ini muncul dengan nilai-nilai yang didapatkannya dari bangku sekolah yaitu, nilai-nilai barat. Mereka diajarkan untuk menilai seseorang berdasarkan tingkat pendidikan. Namun betapa pun tingginya tingkat pendidikan seorang priyayi, ia tetap seorang bumiputra yang kedudukannya berada di bawah Belanda, secara hukum ataupun ekonomi.  Mereka diajarkan bahwa manusia pada dasarnya memiliki kedudukan yang sama, namun pemerintah Belanda tetap menjalankan praktek-praktek dominasi dan eksploitasi kepada golongan pribumi.
Didirikannya sekolah – sekolah ini kemudian melahirkan para kaum muda terpelajar pribumi. Banyak di antara mereka yang kemudian sadar akan nasib bangsanya yang masih terjajah. Sukarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Tjipto Mangoenkoesoemo, adalah sederet nama dari sekian banyak kaum muda terpelajar yang sadar akan keterhisapan bangsanya oleh kolonialisme. Kehadiran mereka kemudian merubah corak perlawanan bangsa ini terhadap kolonialisme Belanda, dimana bentuk perlawanan yang lokalistik, tradisional, dan mistik, menjadi perlawanan yang berskala nasional dan terorganisir oleh sebuah organisasi modern yang melibatkan massa luas. Semangat Nasionalisme terlahir dan menjadi roh perjuangan dalam masa pergerakan kaum muda ini.
Pada tahun 1908 berdiri Boedi Oetomo yang ditulang punggungi kaum muda terpelajar pribumi yang belajar di lembaga kedokteran STOVIA Belanda yang memberikan pendidikan pada pribumi yang tidak bisa mengenyam pendidikan Belanda. Setelah itu menyusul organisasi yang berorientasi Indonesia merdeka yaitu “Perhimpunan Indonesia” di Belanda yang di pelopori oleh Moh.Hatta yang waktu itu menimba ilmu di Belanda, dimana pada tahun 1925 mengeluarkan suatu manifesto politik yang menyatakan tentang Indonesia Merdeka.
Lalu bermunculan organisasi-organisasi yang berlabel study-study club atau himpunan kedaerahan atau lebih secara lugas dibahasakan Jong yang dibangun oleh kaum muda terpelajar yang mulai intensif membangun cita-cita Indonesia merdeka dengan berbagai aktifitas pendidikan rakyat. Semakin menguatnya keinginan untuk membangun Indonesia merdeka yang bertanah air, bangsa dan bahasa yang satu Indonesia, maka Kongres Pemuda di tahun 1928 sebagai lanjutan dari Kongres Pemuda pertama tahun 1926 menjadi bukti sejarah bangsa Indonesia dimana persatuan kaum muda Indonesia melawan kolonialisme.
Sistem pendidikan Kolonial Belanda ini memunculkan dua kelompok priyayi baru, yaitu priyayi dalam birokrasi ( yang mewarisi mentalitas priyayi dalam birokrasi Indonesia sekarang yaitu mental upahan dan mental pegawai). Dan kelompok yang menyadari betapa pentingnya sekolah bagi masyarakat terjajah (Inlander).  Kelompok kedua ini kemudian yang mulai berjuang melalui organisasi sosial, pers, dan pendidikan. Sekolah-sekolah pribumi yang berusaha melawan diskriminasi Belanda pun bermunculan. Seperti, Taman Siswa yang didirikan pada tahun 1922 oleh Ki Hajar Dewantara, yang tidak hanya bertujuan mencerdaskan tetapi juga membangun sikap pejuang untuk menuntut kemerdekaan.
Organisasi massa Sarekat Islam pada tahun 1919 mendirikan sekolah SI, yang didirikan oleh Tan Malaka.  Sekolah yang didirikan oleh kelompok-kelompok pribumi ini kemudian berkembang tidak hanya sebagai sekolah yang memberantas buta huruf tetapi juga sebagai tempat yang menghasilkan orang-orang yang kritis pada realitas rakyat terjajah di negerinya sendiri. Melihat perkembangan sekolah-sekolah pribumi tersebut pemerintah Belanda kemudian memberlakukan onderweer ordonantie pada tahun 1932, yaitu undang-undang yang menutup semua sekolah yang tidak disubsidi oleh pemerintah, dan menyebutnya sebagai sekolah liar. Tetapi, pemberangusan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, tidak menyurutkan semangat kaum terpelajar di Indonesia. Kaum terpelajar di Indonesia, muncul sebagai garda terdepan dalam dunia pergerakan nasional. Sumpah Pemuda tahun 1928, adalah bukti keberhasilan kaum terpelajar untuk mewujudkan suatu Bangsa yang terlepas dari belenggu penjajahan.
Ketika Jepang berhasil menduduki Indonesia tahun 1942. Kondisi dunia pendidikan di Indonesia semakin suram. Jepang dengan kebijakannya untuk memobilisasi segenap rakyat Indonesia untuk kepentingan perangnya, kemudian mengesampingkan aspek pendidikan yang mencerdaskan. Sekolah – sekolah kemudian dirubah menjadi institusi militer yang mendidik para pemuda untuk berperang, seperti PETA, Heiho, Seinendan, Keibodan dan lain sebagainya. Tidak ada satupun keinginan Jepang untuk menjadikan rakyat Indonesia cerdas dan terdidik. Hingga kekalahan Jepang atas sekutu dan kemerdekaan Indonesia.

B. Masa Kemerdekaan – Orde Lama
Paska kemerdekaan beberapa upaya dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia di bidang pendidikan. Periode Revolusi Fisik 1945-1949 telah membuktikan bahwa semangat belajar massa rakyat tidaklah menyurut. Di tengah kancah perjuangan massa rakyat – di antaranya laskar pelajar dan pemuda – melawan agresi militer Belanda, didirikanlah beberapa Perguruan Tinggi dan sekolah rakyat lainnya. Universitas Gajah Mada dan Universitas Islam Indonesia hadir di antara beberapa sekolah lainnya seperti yang tertulis di atas. Sebentuk semangat untuk negeri yang saat itu sedang berjuang melawan praktek nyata imperialisme.
Masa pemerintahan orde lama yang dipimpin oleh Sukarno adalah rezim borjuasi nasional yang bimbang, yang pada saat tertentu mendukung dan berpihak pada rakyat, tetapi pada saat yang lain tidak mendukung dan tidak berpihak pada rakyat. Sangat bergantung pada pandangan dan pendiriannya sebagai Borjuasi nasional. Meskipun demikian secara umum dan terbatas bisa dikatakan bahwa Rezim Sukarno adalah rezim anti imperialisme dan anti feodalisme karena beberapa sikap dan tindakannya yang maju dalam menentang imperialisme maupun feodalisme. Hal ini terus dilanjutkan pada masa 1950-1965. Berbagai kampus dan sekolah, baik yang didirikan oleh Pemerintah dan Swasta, bak jamur di musim penghujan. Walau dalam mainstream besar negara saat itu adalah ‘politik sebagai panglima’ namun kita harus mencermati bahwa cukup banyak kalangan menengah ke bawah yang mengenyam pendidikan. Jaminan akan demokratisnya dunia pendidikan pun dilakukan. Munculnya berbagai organisasi massa, baik itu guru, sarjana, mahasiswa dan pelajar setidaknya membuktikan itu. Masing-masing organisasi pun berupaya menarik anggota dengan tawaran yang kongkrit terhadap pendidikan. Pada masa pemerintahan Sukarno, dibangunlah infrastruktur – insfrastruktur pendidikan. Bermunculannya perguruan tinggi – perguruan tinggi Negeri, menendakan bahwa negara ini membutuhkan para sarjana yang akan mengisi dan memajukan industri dan teknologi nasional. Akan tetapi keadan ini tidak bertahan lama. Rezim yang dipimpin oleh Borjuis nasional yang bimbang Soekarno dijatuhkan oleh musuh-musuh Soekarno terutama dari kalangan anti demokrasi dan anti rakyat. Kejatuhan Rezim Soekarno juga beriringan dengan pembunuhan secara massal rakyat Indonesia tanpa proses pengadilan yang betul.

C. Masa Orde Baru
Periode 1965-1970, kondisi bangsa ini porak poranda dilanda tragedi kemanusiaan. Chaos politik dan kudeta (terselubung) berdarah, dilanjutkan dengan teror pemberangusan hak demokrasi, terjadi di kancah politik nasional. Hal itu lambat disadari dalam dunia pendidikan. Penyebabnya adalah harapan palsu yang diberikan rezim otoriter birokratik Soeharto, yang kemudian menyebut rezimnya sebagai Orde Baru (Orba), bahwa akan ada perubahan yang signifikan di bawah kepemimpinannya. Hal ini menjadi impian di tengah kejenuhan massa rakyat terhadap perilaku elit politik yang lamban menyikapi kehendak massa.
Apa lacur, kemajuan di bidang pendidikan hanya jadi impian. 1966-1998 merupakan pukulan telak bagi sistem pendidikan nasional. Undang-undang Penanaman Modal Asing (UU PMA), Revolusi Hijau dan berbagai kebijakan pro Imperialis diterapkan rezim anti rakyat ini. Imbasnya nyata di dunia pendidikan. Pemberangusan kebebasan berorganisasi, ruang apreasiasi terhadap akademik, kurikulum yang selalu berubah dan memandulkan pemikiran seolah mengembalikan kualitas pendidikan seperti jaman kolonial. Di sektor pendidikan tinggi, disusun kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus / Badan Kordinasi Kampus (NKK/BKK) dan pembekuan Dewan Mahasiswa. Kebijakan itu memaksa Mahasiswa hanya pada jalur kegiatan akademik dan menjauhkan diri dari aktifitas politik. Aktifitas politik yang dimaksud adalah semua upaya penggugatan terhadap keberadaan rezim.  Mahasiswa disibukkan dengan berbagai kegiatan kampus di samping kuliah sebagai kegiatan rutin, dihiasi dengan aktivitas bakti sosial, KKN (Kuliah Kerja Nyata), Dies Natalis, acara penerimaan Mahasiswa baru, dan wisuda sarjana. Terjadi proses ideologisasi dan depolitisasi.
Semua bidang ilmu pengetahuan dalam berbagai jenjang diarahkan atas nama pembangunan, sebuah pembangunan untuk melancarkan beroperasinya perusahaan-perusahaan imperialis. Pada kenyataannya, tak Pendidikan tidak lebih sebagai  mesin pencetak tenaga kerja murah.
Kebijakan pemusatan kekuasaan telah mengakibatkan tersentralisirnya roda perekonomian dan politik di kota-kota besar Indonesia. Menjadi wajar nampaknya, bila pada akhirnya dunia pendidikan pun terseret dalam pandangan itu. Sekolah-sekolah memang bermunculan di berbagai daerah. Namun jadi hambar bila kurikulumnya membuat anak didik terpaksa meninggalkan daerahnya, karena tidak diorientasikan pada pembangunan didaerahnya sendiri. Penumpukan jumlah penduduk di pulau Jawa adalah potret buram rezim ini. Belum lagi hasil pendidikan ini tidak seimbang dengan daya tampung lapangan kerja di perkotaan, menambah rapor merah pemerintah. Bila dibandingkan dengan beberapa negara tetangga seperti Malaysia, Thailand bahkan terakhir Vietnam, perkembangan dunia pendidikan di Indonesia tertinggal belasan tahun.
Sistem pendidikan yang tidak dilandasi keilmiahan dan orientasi pada kebutuhan massa rakyat Indonesia, malah hanya untuk diabdikan pada kepentingan kaum pemodal dan agen imperialis telah menjadi bumerang rezim ini dengan krisssis moneter medio 1997 – 1998. Puncaknya, bersama dengan tuntutan massa rakyat lainnya, kalangan pendidikan yang dimotori mahasiswa dan pelajar mendesakkan turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan.
Sampai saat ini, konsep Sistem Pendidikan Nasional yang mampu memenuhi kebutuhan massa rakyat masih jauh dari kenyataan.  Penyebabnya adalah ketidakkeseriusan pemerintah Indonesia untuk mengatasi soal pendidikan rakyat. Juga soal intervensi imperialis pada pemerintahan rezim boneka yang berkuasa dan disambut hangat oleh pemerintah Indonesia dengan ditandanganinya aneka nota kesepakatan yang anti rakyat.

D. Kontemporer
Sistem dunia hari ini adalah dominasi kapitalisme, yang telah mencapai tahap tertingginya, yaitu: imperialisme. Kita sering menilainya sebagai praktek penjajahan gaya baru. Indonesia pun tidak lepas dari jerat Imperialisme pimpinan Amerika Serikat. Berbagai kebijakan yang dilahirkan oleh rezim (negara) tidak terlepas dari  andil dan intervensi Imperialis. Imperialisme hadir dalam sosok negara-negara maju seperti AS, Inggris, Kananda, Jepang, Korea Selatan, Spanyol, Prancis, Italia, dan sekutunya. Disamping itu, imperilaisme juga berwujud dalam lembaga-lembaga donor internasional, seperti World bank, IMF, dan WTO. Dan tentu saja lewat korporasi raksasa TNCs-MNCs. Dominasi Imperialisme telah menghisap segala sumber daya (manusia dan alam) yang dimiliki oleh bangsa ini.
Akan tetapi karena perkembangan dunia yang tidak seimbang, di berbagai negeri yang dalam kategori terbelakang secara ekonomi, politik, militer dan budaya atau disebut juga sebagai negara yang sedang terjajah seperti Indonesia, feodalisme -monopoli penguasaan tanah dan alat kerjanya berada di tangan tuan tanah yang tidak terlibat dalam kegiatan produksi karena mempekerjakan buruh tani, petani miskin dan petani sedang bawah, akan tetapi keuntungan terbesar hasil produksi diambil oleh mereka untuk keperluan hidupnya- juga memiliki peran penting dalam menghisap dan menjadi basis sosial yang membuat imperialisme berdominasi. Sinngkat kata, feodalisme telah membantu dan menjadi kerabat imperialisme sehingga dapat mengambil tanah rakyat dengan mudah, mobilisasi tenaga kerja murah dan memperoleh bahan mentah untuk kepentingan industri kapitalis, monopoli dengan murah dan melimpah. Kekuatan ini selalu dioperasionalkan oleh birokrasi aparatus negara yang mengabdi kepada kepentingan modal, yang pada fase selanjutnya menjadi kapitalisme birokrat -kaum birokrat yang menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan diri sendiri dan keluarga, dan klik kekuasaannya dengan memberikan fasilitas dan sumber daya terutama ekonomi kepada mereka karena mendukung posisinya di birokrasi, termasuk juga melakukan rangkap jabatan.
Dikarenakan soal imperialisme dan feodalisme yang dioperasikan oleh kapitalis birokrat, dunia pendidikan di Indonesia terkini pun menjadi objek yang tidak lepas dari penghisapan. Buktinya, WTO telah menyepakati untuk menjadikan pendidikan, khususnya pendidikan tinggi sebagai ladang bisnis yang menguntungkan. Pendidikan dijadikan salah satu lahan untuk mendapatkan keuntungan. Dalam General Agreement on Trade Sevice (GATS) telah disepakati untuk memasukan pendidikan tinggi (higher education) dan pendidikan bagi orang dewasa (adult education) dalam industri jasa bersama 11 bidang jasa lainnya. Berlakunya sistem Most Favuorable Nation (MFN) bagi setiap anggota WTO, membuka kesempatan selebar-lebarnya kepada pemilik jasa dan institusi asing untuk beroperasi di Indonesia. Bahkan implmentasi dari “bisnis” ini atau disebut juga Knowledge Economy, akan diimplementasikan 1 Januari 2005.
Masuknya pendidikan sabagai variable industri jasa bukan tanpa sebab. Karena berdasarkan temuan International Education (2000) menyebutkan bahwa dari industri pendidikan bisa menghasilkan keuntungan sebesar 100 miliar dollar US. UNESCO pun melaporkan penemuan yang sama, bahwa pendidikan tinggi adalah sebuah bisnis yang bernilai jutaan dollar US.
Sejak pemerintah menyepakati untuk menandatangani Letter Of Intent (LOI) bernilai 400 juta US Dollar dengan IMF tahun 2001, dan menerapkan Structural Adjusment Programs (SAP’s) ke dua, terjadi berbagai revisi kebijakan di sektor publik. Sektor publik yang selama ini pengelolaannya menjadi tanggung jawab negara, mulai dilimpahkan kepada pemilik modal swasta dan asing. Salah satu varian dari Kebijakan struktural tersebut adalah Pencabutan subsidi sosial, dengan alasan efisiensi. Pencabutan subsisdi sosial khususnya menyangkut pemenuhan kebutuhan pokok dan dasar rakyat, berimbas pula kepada sektor pendidikan. Pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan seperti : alokasi anggaran/biaya pendidikan, kualitas pendidikan, sistem kurikulum, serta fasilitas pendidikan yang jauh dari kepentingan dan harapan rakyat Indonesia.





Perampasan Hak Rakyat atas Pendidikan oleh Negara
Oleh : Hasil Investigasi FMN(2003-2006)

Pendidikan adalah sebuah proses dialektika manusia untuk mengembangkan kemampuan akal dan pikirannya, menerapkan ilmu pengetahuan untuk menjawab problem – problem sosial, serta mencari hipotesa – hipotesa baru yang kontekstual terhadap perkembangan manusia dan zaman. Pendidikan merupakan sebuah media untuk mencerdaskan kehidupan rakyat dan bangsa, sekaligus sebagai suatu instrumen yang akan melahirkan tenaga-tenaga (intelektual dan praktisi) yang akan menjadi penopang bagi perkembangan hidup massa rakyat. Pendidikan  harus menjadi faktor pendorong bagi kemajuan peradaban menuju masyarakat yang sejahtera, berkeadilan, berdaulat dan demokratis. Namun kenyataannya, pendidikan di Indonesia tidaklah berujung sesuai pandangan di atas. Historis pendidikan di negeri ini masih menyisakan kabut gelap bagi rakyatnya. Pendidikan pada setiap masa, hanya dijadikan alat legitimasi penindasan bagi penguasa. Di era kolonial, pendidikan ditujukan untuk menyediakan infrastruktur bagi kepentingan industri perkebunan dan birokrasi Belanda serta bersifat diskriminatif bagi rakyat. Namun bekal ilmu pengetahun modern yang dipelajari di bangku sekolah, tidak kemudian menutup mata sebagian kaum pribumi. Generasi muda dari zaman ini, muncul kemudian sebagai pejuang-pejuang, yang kita kenal kemudian dengan istilah Kebangkitan Nasional dan Pergerakan Nasional di awal abad 20.

Pasca Kemerdekaan, nasib pendidikan nasional tak jua beranjak maju. Sejak rezim Orla-Orba-Refomasi, problem-problem dunia pendidikan belum mampu dipecahkan dan diselesaikan secara seksama. Berbagai problem, seperti : minimnya kesempatan menikmati pendidikan bagi seluruh rakyat, mahalnya biaya pendidikan, rendahnya mutu pendidikan, terbatas dan tidak meratanya pembangunan sarana pendidikan, dis-orientasi sistem kurikulum, tingkat kesejahteraan tenaga pendidik yang rendah, problem demokratisasi dilembaga-lembaga pendidikan, komersialisasi pendidikan, tingginya angka buta huruf, minimnya subsidi pendidikan dan besarnya jumlah tenaga kerja berijasah yang menganggur adalah fakta sehari-hari yang kita temukan.


Soal-soal Pendidikan Indonesia

A.  Pendidikan Biaya Mahal Akibat Dari Alokasi Anggaran Pendidikan Yang Sedikit
Kita mengetahui bahwa pendidikan masih menjadi anak tiri dalam pembangunan. Hal itu tercermin dari minimnya alokasi anggaran untuk sektor pendidikan. Minimnya anggaran pendidikan yang dialokasikan negara, bukan berarti negara kekurangan atau tidak memiliki dana sama sekali. Dalam konstitusi (Amandemen IV UUD’45), diatur bahwa negara mengalokasikan 20% dari APBN dan APBD untuk sektor pendidikan. Tetapi kenyataannya belum mampu diwujudkan oleh pemerintah. Padahal dengan mengalokasikan 20% anggaran, rakyat Indonesia bisa memiliki kesempatan untuk menikmati pendidikan dari pendidikan dasar-tinggi. Sebagai contoh, Kabupaten Waringin di Kalimantan yang mengalokasikan 20% dari APBD-nya mampu memberikan layanan pendidikan gratis dari SD-SMU/SMK. Sementara bagi mereka yang berkuliah, diberikan bantuan subsidi pendidikan, berupa bea siswa.
Sejak zaman Habibie-Mega Hamzah, alokasi anggaran pendidikan tidak pernah beranjak dari kisaran dari 4-6%. Bahkan di era Orde Baru, pemerintah hanya mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 9%. Terakhir, alokasi anggaran dari APBN 2004 hanya sebesar 4 %. Hal ini berbanding terbalik dengan kenaikan anggaran militer yang meningkat 2 kali lipat, yaitu : 15.4% dari total APBN 2004. Untuk pembayaran utang (dalam dan luar negeri) mengambil porsi sebesar 40%. Dari produk domestik bruto (PDB), pemerintah hanya menyisakan 1,5 % untuk pendidikan. Sementara beberapa negara di Asia menyisakan 3-6% PDB nya untuk pendidikan. Di negara-negara lainnya, pendidikan selalu mendapatkan porsi utama dalam pembangunan. Negara seperti Malaysia mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 25%. Alokasi sebesar itu membuat rakyatnya bisa bebas dari biaya pendidikan, mulai SD sampai jenjang Perguruan Tinggi. Kuba pun memberikan pendidikan gratis bagi rakyatnya. Begitu pula dengan negara miskin seperti Korea Utara mampu menyediakan pendidikan gratis bagi rakyat.
Akibat yang timbul dari minimnya alokasi anggran pandidikan di Indonesia-negeri yang didominasi oleh imperialisme yang bekerja sama dengan tuan tanah dan antek-anteknya di dalam negeri- adalah Biaya sekolah dan kuliah semakin mahal. Peserta didik dijadikan sumber utama pembiayaan penyelenggaraan pendidikan (selain dari penyewaan aset kampus, dan penjualan hasil penelitian). Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang dulu dikenal murah kini memberikan harga yang sangat mahal dan susah dijangkau oleh masyarakat luas. Perguruan Tinggi Swasta setiap tahun biaya kuliahnya juga naik. Pada saat yang bersamaan di sekolah-sekolah negeri, pada awal tahun ajaran biaya masuk siswa baru dan iuran bulanan yang ditetapkan sekolah melonjak dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2003 saja terdapat 6 juta anak terlantar, 50.000 anak jalanan di 12 kota propinsi dan diperkirakan meningkat 100 % akibat krisis, ditambah lagi dengan  jumlah pekerja anak usia 10-14 tahun sekitar 2,1 juta orang (JKPM, 16 Mei 2003). Sebagian besar dari mereka adalah anak-anak putus sekolah dan bahkan tidak mengenyam pendidikan. Diperkirakan terdapat 1 juta anak putus sekolah setiap tahunnya di Indonesia  (Republika, 5 Februari 2002). Sebanyak 11,7 juta anak tidak pernah sekolah dan putus sekolah berumur antara 10-14 tahun dan sebanyak 5,2 juta anak usia sekolah tidak mampu membaca, menulis, dan berhitung (Republika, 16 Agustus 2002). Sementara itu, hanya 11 % lulusan SLTA yang mampu meneruskan ke jenjang Perguruan Tinggi. Diperkirakan deretan jumlah angka-angka tersebut akan semakin meningkat

B.  Regulasi Pendidikan Yang Anti Rakyat.
            Regulasi atau aturan hukum menjadi landasan hukum bagi lahirnya suatu kebijakan (policy). Terdapat beberapa regulasi yang menjadi titik rawan dan harus dikritisi, karena secara langsung melegitimasi privatisasi pendidikan. Regulasi pertama yang mendukung privatisasi pendidikan adalah Peraturan Pemerintah No 60/61 tentang Pendidikan Tinggi (PP No.60/61 1999). PP 60/61 1999, merupakan proyeksi Otonomi Kampus di tingkat Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Otonomi Kampus adalah suatu upaya menuju privatisasi (swastanisasi) pendidikan di kampus negeri. Dimulai, dengan merubah status kampus negeri menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN). Perubahan status, ini memberi kesempatan kepada PTN-PTN untuk mengurusi urusan dapurnya secara mandiri, khususnya terkait pembiayaan pendidikan. Karena negara tidak lagi mensubsidi PTN.
Hingga kini, telah ada 6 PTN yang menjadi proyek percontohan Otonomi Kampus, yaitu : UI, UGM, ITB, IPB, UPI, dan Unair. Hadirnya Majelis Wali Amanat (MWA), BOP, Jalur Khusus, SPMA, Kenaikan Biaya SPP, dan Pungli, sudah dirasakan bebannya oleh mahasiswa. Bahkan ketika otonomi kampus mulai dijalankan, terjadi kenaikan biaya kuliah 300-400% sepanjang tahun 1999. Sementara setiap tahunnya, mahasiswa harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 4-18 juta. Dengan demikian, bagaimana mungkin anak-anak dari 38 juta rakyat Indonesia yang miskin mampu menjangkau tingkat pendidikan tinggi. Mungkin seorang buruh hanya bisa bermimpi, jika anaknya bisa menjadi sarjana. Karena upah dan sistem kerjanya sangat sulit untuk menyekolahkan anaknya. Buruh tani dan petani miskin mungkin hanya bisa gigit jari. Sementara, bagi kaum miskin perkotaan mungkin akan menganggap bahwa itu sebuah mukjizat, jika anaknya bisa berkuliah. 
Selain itu, PTN pun mulai membuka diri kepada investasi modal ke kampus. Beberapa PTN mulai gencar melakukan program kerjasama dengan perusahaan-perusahaan yang terkait. Sarana-sarana yang dimiliki oleh kampus pun mulai di “go public” kan demi mendapatkan surplus. Otonomi Kampus telah menjadikan kampus ibarat perusahaan jasa yang sedia menyediakan jasa bagi mereka yang menanamkan saham. Institusi pendidikan tinggi negeri sudah tidak menjadi lagi pilihan bagi rakyat kecil untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang perguruan tinggi.
Regulasi yang turut mendukung privatisasi pendidikan adalah Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). UU yang menggantikan UU No. 02 Tahun 1989, ternyata masih jauh dari harapan rakyat. UU Sisdiknas justru kental mendukung liberalisasi pendidikan. Dalam UU Sisdiknas disebutkan bahwa pendidikan tidak lagi menjadi tanggung jawab negara, tetapi merupakan tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat. Pemerintah menuntut masyarakat untuk menanggung pembiayaan pendidikan. Sementara tingkat pendapatan masyarakat sangat sulit untuk menjangkau pendidikan. Peran negara sebagai lembaga yang bertanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, ternyata tidak terwujud dalam UU Sisdiknas.
Disamping itu, UU Sisidiknas juga melegalisasi kehadiran institusi dan jasa pendidikan asing. Tentu saja, beberapa institusi dan jasa pendidikan dalam negeri akan tersingkirkan. Karena akan kalah saing secara kualitas dan finansial. Institusi pendidikan swasta khususnya, akan mengalami kemungkinan terburuk, jika implementasi dari kebijakan ini segera berlaku. Indikasinya menguat, ketika belakangan ini pemerintah meminta Koperasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) untuk menutup beberapa kampus swasta. Dan alotnya pembahasan RUU Perguruan Tinggi, yang banyak mengundang protes oleh kalangan pendidik dari swasta.
UU Sisdiknas masih meyimpan “bom waktu” yang lain, yaitu tentang status tenaga pendidik. Status tenaga pendidik akan sangat menentukan bagi tingkat kesejahteraan tenaga pendidik. Otonomi Kampus yang disahkan lewat pembentukan PT BHMN. Pendidikan Kedinasan yang cenderung menghamburkan anggaran pendidikan. Dan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) atau Komite Sekolah, yang pengelolaanya mirip dengan yayasan.
Selanjutnya regulasi yang mendukung pendidikan yang tidak terjangkau oleh rakyat (kaum buruh, buruh tani, tani miskin, dan tani sedang bawah, serta kalangan minoritas demokratis yang tertindas lainnya) juga berlangsung adalah Peraturan Pemerintah tentang pem-BHMN-an PTN, diantaranya PP No 152 Tahun 2000, PP No 153 Tahun 2000, PP 154 tahun 2000.
B.1. Tentang BHMN
Pemerintah Indonesia pada tahun 1999 telah mengeluarkan peraturan yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri Sebagai Badan Hukum. Ditindaklanjuti dengan peraturan pemerintah tentang perubahan status PTN sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN) bagi 8 (delapan) PTN terkemuka di Indonesia, yaitu Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Universitas Diponegoro (Undip), Universitas Airlangga (Unair) dan Universitas SumatraUtara (USU), sejak tahun 2000. Dengan status sebagai BHMN, PTN dituntut membiayai sendiri pengelolaan dana operasional pendidikan kampus atau dikenal juga dengan otonomi kampus (Otkam). Strategi ini adalah bagian dari upaya pemerintah anti rakyat untuk melepaskan beban subisdi pendidikan bagi PTN. Dengan kata lain, perubahan status PTN menjadi BHMN bertujuan merubah PTN dari lembaga pendidikan negara yang berfungsi memberikan layanan rakyat, dengan membuka akses seluas-luasnnya bagi seluruh lapisan masyarakat untuk mengenyam pendidikan tinggi, menjadi lembaga komersil layaknya
perusahaan jasa yang bisa diperjual belikan. Sebagai BHMN, PTN tetap berada di bawah naungan pemerintah melalui Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Keuangan dan Direktorat Jenderal Pendidikan tinggi (Dikti). Masuknya unsur Menteri Keuangan (Menkeu) dalam PTN adalah bentuk nyata tujuan pengelolaan PTN untuk mengisi kantong kaum kabir. Karena Menkeu berfungsi untuk memisahkan kekayaan Negara di PTN yang terpisah dari APBN.
Kekayaan Negara yang dimaksudkan adalah segala asset milik PTN selain tanah yang dijadikan modal awal dalam pengelolaan PTN BHMN. Selain itu, tanah tidak dijadikan asset kekayaan PTN. Nilai tanah merupakan hak pemerintah yang ditentukan bersama antara Depkeu dan Depdiknas. Kemudian diadakannya Majelis Wali Amanat (MWA). Majelis ini berkedudukan sebagai wakil pemerintah dan masyarakat. Masyarakat yang dimaksud adalah mereka yang bersedia melakukan investasi di PTN, baik dari dalam negeri ataupun luar negeri. Unsur-unsur MWA terdiri dari Menteri, SenatAkademik, Masyarakat, Karyawan Universitas, Mahasiswa dan Rektor yang berjumlah 21 orang. Anggota MWA diangkat dan diberhentikan oleh menteri berdasarkan usulan dari Senat Akademik. Perwakilan menteri 1 orang, Senat Akademik 11 orang, Masyarakat 6 orang, karyawan 1 orang, mahasiswa 1 orang dan Rektor 1 orang. Masa jabatan MWA selama 5 tahun dan dapat dipilih lagi untuk satu masa jabatan. Dipimpin oleh Ketua dan Sekretaris yang menjabat selama 2,5 tahun dan dapat dipilih lagi untuk satu masa jabatan. Sementara wakil mahasiswa hanya menjabat selama setahun. Dalam pemilihan rektor, menteri memiliki persentase suara 35 persen. Di MWA inilah segala sesuatu tentang PTN ditentukan terkait dengan rencana strategis selama 5 tahun, rencana kerja per tahun, anggaran, kebijakan umum, pengawasan dan pengelolaan, laporan tahunan ke menteri, penilaian kinerja pimpinan (Rektor dan jajarannya), pengangkatan dan pemberhentian pimpinan hingga penyelesaian atas sengketa di kampus. Intinya, MWA adalah badan tertinggi yang menentukan segala arah kebijakan yang akan ditempuh oleh PTN. Unsur-unsur MWA yang sangat mempengaruhi kebijakan kampus adalah menteri, masyarakat dan senat akademik. Menteri sebagai representasi kepentingan pemerintah di PTN,masyarakat mewakili kepentingan investor asing ataupun borjuasi komprador dan senat akademik terkait dengan proses pencalonan pimpinan kampus dan arahan kebijakan akademis. Sementara unsur mahasiswa bisa dikatakan hanya sebagai pelengkap saja. Hingga bisa dikatakan MWA tidak jauh bedanya dengan kedudukan DewanDireksi di sebuah perusahaan. Dalam PTN BHMN, didirikan juga unit komersial yang berada langsung di bawah kendali serta bertanggung jawab kepada MWA. Pimpinan unit usaha komersial ini dingkat dan diberhentikan oleh MWA. Unit komersial berhak mendirikan bentuk usaha komersial lain berbadan hukum, yang sahamnya dapat dimiliki sepenuhnya atau sebagian oleh universitas. Di UGM, unit komersial ini dikenal sebagai PT Gadjah Mada Usaha Mandiri. Sementara di ITB didirikan PT Air Ganesha. Selain biaya yang diperoleh dari mahasiswa, PTN BHMN juga mendapatkan dana operasional dari APBN melalui anggaran rutin dan anggaran pembangunan. Anggaran pembangunan bisa digunakan untuk membiayai pembangunan investasi di PTN. Ada juga dana dari masyarakat yang tidak lain adalah para borjuasi besar komprador dan pihak luar negeri. Pendanaan dari masyarakat tersebut adalah pendapatan negara bukan pajak (PNBP). Dalam berbagai kasus, PNBP PTN BHMN jarang sekali dilaporkan, yang mengindikasikan adanya peluang mengambil untung dari unsur kabir pimpinan universitas dan borjuasi komprador yang menanamkan investasinya di kampus. Sementara tentang ketenagakerjaan, tenaga dosen, administrasi, pustakawan, teknisi, dan golongan tenaga kerja di luar tenaga dosen yang ditetapkan merupakan pegawai universitas yang pengangkatan dan pemberhentian, kedudukan, hak dan kewajibannya ditetapkan berdasarkan “perjanjian kerja” sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai ketenagakerjaan. Bagi mereka yang berstatus pegawai negeri sipil, sejak PTN BHMN diterapkan, statusnya dialihkan sebagai pegawai PTN BHMN alias berstatus kontrak sekurang-kurangnya 10 tahun.
B.2. Dampak PTN BHMN
Dalam peraturan yang berlaku PTN BHMN disebutkan sebagai lembaga nirlaba atau tidak mencari keuntungan. Kenyataannya, biaya kuliah di PTN-PTNBHMN melonjak drastis sejak berstatus BHMN. Tercatat, biaya kuliah dibeberapa universitas negeri meningkat sebesar 300 hingga 400 persen pada tahun 1999 (tahun pertama pelaksanaan otkam). Sejak tahun 2004 beberapa universitas terkemuka termasuk PTN BHMN menerapkan apa yang disebutkan sebagai “jalur khusus” untuk penerimaan mahasiswa baru yang biaya terbilang cukup mahal. Universitas Indonesia (UI), menerapkan uang pangkal atau admission fee bagi peserta jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) sebesar Rp 5 juta-Rp 25 juta dan Program Prestasi Minat Mandiri (PPMM)Rp 25 juta-Rp 75 juta. Sementara ITB menerapkan Sumbangan Dana Pengembangan Akademik (SDPA) untuk jalur non SPMB–seperti Penelusuran Minat Bakat dan Potensi—bisa mencapai Rp 45 juta. Peserta SPMB juga dikenai uang sumbangan. Biaya tersebut belum termasuk Sumbangan Pembinaan Pendidikan atau SPP. Universitas Gadjah Mada (UGM) memberlakukan Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik (SPMA) yang besarnya mencapai Rp 20 juta dan berlaku untuk untuk jalur SPMB dan non-SPMB. Ditahun 2003, UGM memperoleh keuntungan setidaknya Rp 3,39 miliar dari hasil penjualan formulir ujian masuk Rp 45.000 dari 75.309 peserta ujian. Kemudian mahasiswa dicengangkan dengan keluarnya SK Rektor UGM No.109/P/SK/HT/2006 tentang Biaya Operasional Pendidikan (BOP) bagi mahasiswa UGM, 7 Maret 2006. Dengan SK ini, semua mahasiswa UGM sebelum angkatan 2006/2007 akan dikenakan biaya kuliah sama dengan biaya kuliah mahasiswa angkatan 2004 dan2005. Meskipun akhirnya dibatalkan karena menuai keluhan dari mahasiswa. Kini, hampir 61 PTN di Indonesia menggunakan sistem penerimaan mahasiswa baru layaknya PTN BHMN. Hal ini belum ditambah dengan pembukaan kelas-kelas seperti kelas ekstensi, kelas jauh, kelas internasional hingga pembukaan program D3 dibeberapa fakultas yang banyak diminati untuk kebutuhan pasar tenaga kerja. Sementara apa yang dimaksudkan dengan “akuntabilitas publik” hanyalah lip service semata. Tahun 2005 lalu, dosen dan karyawan UGM memprotes kenaikan gaji Rektor UGM, Sofyan Effendi yang mencapai 40 persen tanpa sepengetahuan dosen dan karyawan. Hasil investigasi dengan mahasiswa UGM juga menyebutkan, mereka tidak mengetahui aliran dana operasional kampus. Di USU, Presiden mahasiswa USU terkena DO hanya karena berupaya membongkar kasus korupsi dana opersional pendidikan yang dilakukan Rektor USU, akhir Juli 2006 lalu. Kampus pun dirubah ibaratnya sebuah pasar dagang dengan menjaring masuknya usaha-usaha milik perusahaan dalam negeri dan luar negeri. Di UPI dan UGM, sempat heboh dengan keberadaan jasa internet M-Web. Di UI juga telah masuk jasa alfamart sebuah minimarket yang memiliki cabang cukup besar di Jawa.
Atau dengan membuka jasa layanan atm bank seperti BNI, BCA dan Mandiri. Bahkan kampus juga sangat terbuka bagi promosi produk-produk perusahaan. Bentuk lainnya adalah dengan mengkomersilkan asset-aset kampus seperti aula, gelanggang olahraga hingga perpustakaan. Asrama mahasiswa UI yang memiliki 444 kamar untuk putra dan putri 76 kamar, menerapkan tarif Rp 125 ribu untuk kamar dan Rp 75 ribu untuk jaminan. Sementara tamu yang menginap dikenakan tarif Rp 12.500 per malam. Di UI juga membuka jasa komersil bis AC yang dikenakan denda 10 persen jika melakukan pembatalan 3 hari sebelumnya. Perpustakaan UI juga tergolong cukup mahal. Biaya fotokopi Rp 150/lembar untuk anggota dan Rp 200 untuk non anggota. Pemesan fotokopi melalui pos dikenakan biaya sebesar Rp.5000/10 lbr dan ditambah ongkos kirim (biaya pos). Biaya internet sebesar Rp 4500 per jam. Sewa loker Rp 5000/bulan atau Rp.12.500/3 bulan. Sementara penggunaan aula mahasiswa, dan sarana olahraga di UI juga harus dibayar, termasuk oleh mahasiswa. Di UGM, gedung University Centre (UC) yang dulunya bisa digunakan secara gratis oleh mahasiswa, kini harus mengeluarkan kocek lebih untuk menggunakannya. Sementara gedung Graha Saba UGM, lebih layak disebut sebagai sarana fasilitas resepsi pernikahan atau pentas musik kolosal dibandingkan sebagai sarana yang bisa digunakan untuk aktifitas mahasiswa.
Peningkatan fasilitas tidak mengalami peningkatan yang berarti. Di UI, mahasiswa masih mengeluhkan tentang pelayanan bis kampus (biskuning) dan pelayanan adminstratif. Di UGM, hampir keseluruhan mahasiswa di Fakultas Hukum (FH), Fakultas Ilmu Budaya (FIB) dan Fakultas Ilmu Sosial dan IlmuPolitik (Fisipol), mengeluhkan tentang kelengkapan fasilitas belajar mengajar seperti ruangan kelas yang terlalu sempit. Mahasiswa mengeluhkan tentang jumlah mahasiswa yang terdaftar di kelas sering tidak sesuai dengan kapasitas ruangan, sehingga suasana belajar menjadi kurang nyaman karena terlalu penuh. Tidak jarang ada mahasiswa yang terpaksa bolos kuliah karena kehabisan tempat duduk. Ditambah lagi buruknya kualitas AC yang menyebabkan ruangan kelas tetap panas dan sumpek. Lantas, apakah ada peningkatan kualitas? Laporan Asiaweek 2003, menyebutkan Universitas seperti UGM saja menempati peringkat 77 dari 77 Universitas di Kawasan Asia-australia. Dari Hasil Evaluasi Pelaksanaan Lima Tahun BHMN yang diselenggarakan di Kampus UI, ternyata tidak didapatkan adanya peningkatan secara berarti terhadap kualitas sarana pendidikan seperti komputer, internet, laboratorium, dan fasilitas lainnya. Mahasiswa tetaplah sulit untuk mengakses fasilitas-fasilitas tersebut. Dengan status sebagai BHMN, PTN diposisikan sebagai Research University. Research University dicetuskan di Jerman pada awal perang dunia kedua untuk menghasilkan penemuan-penemuan baru di dalam industri senjata pemerintah Nazi ketika itu. Dengan demikian PTN BHMN sekedar dijadikan lembaga yang ditujukan untuk melakukan penelitian dan penemuan iptek. Pertanyaannya, mungkinkah itu terjadi jika alih iptek saja tidak terjadi. Kemungkinan terbesarnya adalah kekayaan intelektual yang dihasilkan oleh univertias justru bisa dikuasai oleh perusahaan imperialis atau kompradornya yang bekerja sama dengan PTN BHMN melalui Hak Cipta dan Hak Paten.
Sebagai research university, mahasiswa juga diarahkan untuk secepat mungkin menyelesaikan masa studinya dan dijauhkan dari aktifitas politik dan organisasi. Beberapa upaya seperti, pengetatan system presensi dan tugas kuliah sebagai salah satu ukuran untuk mendapatkan penambahan nilai. Padahal, bukan hanya aspek kognisi yang menjadi ukuran bagi penilaian atas suatu proses pendidikan. Diikuti kemudian dengan pemberlakuan jam malam, kode etik hingga penandatangan kontrak dengan pihak universitas untuk menyepakati segala aturan kampus ketika mencalonkan diri sebagai mahasiswa.
Proses BHMN PTN telah memupuskan harapan dari generasi bangsa dari kalangan rakyat miskin, terutama dari keluarga klas buruh dan kaum tani untuk mengenyam bangku kuliah. Padahal, kampus negeri selama ini dikenal sebagai harapan bagi lulusan sekolah dari keluarga klas buruh, kaum tani, atau borjuasi kecil untuk berkuliah dengan modal kemampuan otaknya. Dampak yang paling kerasa tentu saja terjadinya peningkatan biaya kuliah seperti paparan di atas. Di tahun 2002, hanya 10% penduduk usia perguruan tinggi di Indonesia yang belajar di perguruan tinggi. Tahun 2003, mayoritas jumlah mahasiswa baru terbanyak (sekitar 77%) adalah mereka yang orangtuanya berpenghasilan sekitar Rp 1,5 juta perbulan. Dan 20%-nya adalah mahasiswa yang orangtuanya berpenghasilan Rp 2 juta ke atas. Di tahun 2004, masyarakat yang bisa mengakses bangku Perguruan Tinggi (PT), hanya 3% berasal dari keluarga miskin. Sementara sisanya berasal dari keluarga kelas menengah-keatas. Mampukah seorang buruh di Jakarta yang hanya menerima upah Rp 812.000/bulan, menguliahkan anaknya di UI yang mengeluarkan biaya puluhan juta?
Belum lagi jika layanan jasa pendidikan asing masuk ke Indonesia. Jika PTN BHMN tidak meningkatkan kompetensinya maka siap digerus oleh jasa pendidikan asing tersebut, baik melalui merger atau akuisisi. Dan jika siap bekompetensi maka, mahasiswa siap-siap menjadi “sapi perahan” melalui kebijakan menaikan biaya kuliah, karena negara tidak lagi mengurusi PTN dengan skema pemangkasan subisidi. Enam negara maju, yaitu Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Republik Korea, Cina, dan Jepang telah berkeinginan mendirikan dan menjalankan perguruan tinggi di Indonesia. Menurut Guru Besar Universitas Sarjanawiyata Taman siswa, Prof. Dr. Ki Supriyoko MPd, Bila kemudian masyarakat kita “menyerbu” PTA, terlepas motivasinya akademis atau sekadar meningkatkan derajat sosial, bisa jadi PTN dan PTS kita akan kekurangan mahasiswa, bahkan sebagian akan mengalami tutup buku (Kompas, 11 September2003).
Bisa dipastikan bahwa privatisasi PTN dengan status sebagai PTN BHMN di tengah situasi krisis yang semakin menajam (harga-harga melonjak & pendapatan menurun), sama saja dengan menatap masa depan yang suram bagi pemuda dan mahasiswa Indonesia. Biaya kuliah di PTN BHMN yang semakin mahal, akan membuat orang berpikir dua kali menguliahkan anaknya. Kecuali, bagi mereka yang sanggup karena berasal dari kalangan tuan tanah, tani kaya, borjuasi besar komprador dan kabir. Mereka yang hidup dari menindas rakyat Indonesia inilah yang mampu menguliahkan anaknya ke PTN BHMN ke depannya. Sementara anak-anak rakyat klas buruh, kaum tani dan borjuasi kecil lapis bawah hanya bisa berharap. Kemudian mahasiswa hanya akan menjadi sapi perahan dari sekian pembiayaan yang ada. Kesejahteraan mahasiswa di kampus juga tidak terjamin, karena tidak adanya upaya untuk meningkatkan fasilitas. Hak-hak berorganisasi dan berpendapat juga masih dikekang. Sementara ilmu pengetahuan dan pengetahuan akan sulit berkembang, karena kekayaan intelektual kampus terancam dimonopoli oleh imperialis ataupun kompradornya yang menanamkan investasi ataupun melakukan kerjasama dengan pihak univeristas. Karyawan dan dosen juga akan merasakan penurunan kesejahteraan, karena akan diperlakukan layaknya buruh kontrak. Hanya kaum kabir (pemerintah dan pengelola kampus) borjuasi besar komprador (pengusaha) ataupun tuan tanah yang terkait dengan perluasan gedung kampus atau pusat-pusat penelitian di pedesaan atau perkotaan yang akan diuntungkan dari pem-BHMNan PTN. Dan tentu saja kaum imperialis yang menanamkan modalnya di PTN BHMN demi mendatangkan akumulasi laba super ke tangannya.Kenapa demikian ?.
Karena perlu kita ketahui bahwa 100% dari jumlah penduduk di indonesia sebagian besar bekerja sebagai Buruh Pabrik, Tani miskin, Buruh tani yang biaya penghidupannya hanyalah cukup untuk kebutuhan hidup sehari saja.sebuah contoh di Kota Malang saat ini saja (2006 akhir) : Upah Kota malang untuk buruh hanya sebesar Rp.681.000,-/Bln dan hal itupun jika di bayar secara penuh, karena banyak terjadi kasus-kasus perburuhan tentang pengusaha yang tidak membayarkan uapah buruh secara penuh.sedangkan upah Buruh tani dikota malang selatan Kel.Sanggreng hanya diberikan sebesar (Buruh tani Pria) Rp.12.000 – Rp.15.000,-/harinya  atau sama dengan Rp.360.000 – Rp.450.000,-/ bulannya dan (Buruh tani Wanita) Rp.9.000 – Rp.11.000/harinya atau sama dengan Rp.270.000 – Rp.330.000,-/bulannya, hal ini belum dihitung apabila terjadi gagal panen yang pastinya akan berdampak pada pemotongan Upah.dari hal tersebut dapat kita bayangkan mengenai bagaimana masa depan anak-anak mereka.
Artinya alasan tentang bahwa Sumber Daya Manusia (SDM) di indonesia terkait dengan membangun,mengembangkan dan memajukan negeri ini tidaklah tepat, karena bagaimana mungkin SDM rakyat indonesia dapat diandalkan untuk membangun,mengembangkan dan memajukan negeri ini jika yang berpendidikan hingga ke jenjang yang lebih tinggi saja jumlahnya sangat minim dikarenakan biaya pendidikan sangatlah mahal,belum lagi bagi yang rakyat yang dapat melanjutkan pendidikannya hingga ke jennjang yang lebih tinggi tidak mendapatkan sarana dan prasana yang memadai untuk dapat menunjang prosesi pendidikannya terkait dengan mengembangkan kemampuannya di dunia pendidikan.

C.    Kurikulum Yang Tidak Dapat Menyelesaikan Persoalan Rakyat       
Pemerintah telah mengganti kurikulum pendidikan tahun 1994 dengan kurikulum pendidikan tahun 2002 yang berbasiskan kompetensi. Kurikulum pendidikan terbaru bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Benarkah demikian? Sebelumnya, kurikulum pendidikan nasional dengan konsep link and match.  Konsep kurikulum ini mengarahkan output pendidikan, khususnya pendidikan tinggi untuk mengisi pos-pos tenaga industri menyongsong era pasar bebas. Namun terbukti gagal, karena jumlah pengangguran dari lulusan perguruan tinggi (PT) terus meningkat. Ditambah rendahnya mutu lulusan PT, yang harus bersaing dengan lulusan luar negeri terus membanjiri pasar tenaga kerja dalam negeri.
            Kurikulum baru tidak jauh berbeda dengan kurikulum pendidikan yang lama. Dalam kajian umum, kurikulum ini sangat mendukung lulusan perguruan tinggi untuk menjadi tenaga kerja terdidik (calon buruh).  Beberapa revisi mata kuliah di PT menunjukkan bahwa terjadi pemangkasan terhadap mata kuliah yang dinilai tidak terlalu berkompeten bagi era pasar bebas. Dan juga, pemangkasan jumlah satuan kuliah semester (SKS), dalam rangka mempercepat kelulusan mahasiswa. Nilai pun menjadi standar ukuran baku dalam menilai hasil belajar peserta didik. Padahal jika berbicara tentang kwalitas pendidikan tidak terbatas pada nilai yang diperoleh saja, nilai akademik yang baik itu perlu dan penting. Akan tetapi yang paling adalah kemampuan untuk mempraktikkan ilmu yang diperoleh selama di bangku sekolah untuk menyelesaikan persoalan rakyat. Bukan malah menambah persoalan, seperti kasus pengangguran dari alumni pendidikan. Apakah dengan demikian kita bisa menghasilkan mutu pendidikan yang lebih baik. Berdasarkan laporan Human Development Index (HDI) kualitas manusia Indoensia menempati peringkat 112 dari 120 negara. Beberapa universitas terkemuka di Indonesia hanya menempati peringkat terbawah dari sejumlah universitas ternama di Asia. Angka buta huruf di atas umur 10 tahun ke atas masih sekitar 18,7 juta jiwa. Rendahnya mutu pendidikan nasional, seharusnya mampu ditangani dengan sistem kurikulum pendidikan yang berorientasikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mampu memajukan ilmu pengetahuan nasional. Bukan sebaliknya, mendukung pasar bebas dan meminggirkan masyarakat untuk menikmati pendidikan secara layak.

Pendidikan tinggi di bawah dominasi imperialisme
Pendidikan tinggi telah menjadi industri yang sangat menguntungkan bagi kaum kapitalis monopolidi negara-negara imperialis seperti Eropa Barat dan Amerika Serikat. Bagi mereka, pendidikan adalah komoditas yang siap dinegosiasikan (ripe to negotiate) dan diperjualbelikan dalam arus perdagangan internasional. “Trade in higher education is a milliondollar business ...” (UNESCO, 2001); Rapidly growing,however, is the private ‘education industry’ ... thiscurrently generates around $100 billion in the US alone...” (Education International, 2000).
Liberalisasi sektor pendidikan di dunia internasional difasilitasi oleh WTO—lembaga perdagangan imperialis—dalam General Agreement ontrade in Services (GATS) yang bertujuan membuka akses pasar terhadap sektor jasa. Inisiatif ini merupakan kehendak dari negara-negara imperialis yang telah merasakan keuntungan begitu besar dari penyediaan jasa selama 20 tahun terakhir. Pendidikan dimasukkan dalam sektor jasa bersama 11 bidang jasa lainnya yang dibahas dalam Putaran WTO di Cancun, Meksiko, September 2003 dan diimplementasikan sejak 1 January 2005. Di Indonesia, penerapannya masih ditunda yang sangat terkait dengan rencana pengesahan rancangan undang-undang badan hukum pendidikan (RUU BHP). Liberalisasi memungkinkan institusi pendidikan asing maupun tenaga pengajarnya bisa mengelola jasa pendidikan di Indonesia. Fokus liberalisasi sector pendidikan ditujukan pada pendidikan tinggi (highereducation) dan pendidikan untuk orang dewasa (adulteducation). Sejauh ini, sekitar lebih dari 50 negara anggota WTO telah mengindikasikan komitmen “pembukaan pasar secara penuh” (full access to market) di sektor pendidikan tinggi dan adult education. Liberalisasi ini adalah ancaman bagi pendidikan tinggi di Indonesia. Karena dengan national treatment maupun technical barriers to trade di WTO, sulit berharap pemerintah akan menjamin hal-hal seperti peningkatan subsidi, kuota lisensi, perlindungan budaya dan adapt lokal, pembatasan pada bidang khusus, ataupun pembatasan investasi luar negeri dalam institusi pendidikan.

Memperjuangkan Sistem Pendidikan Nasional yang Ilmiah, Demokratis dan Mengabdi Kepada Rakyat

Jawaban atas kondisi di atas adalah berjuang untuk mewujudkan sistem pendidikan nasional yang ilmiah, demokratis dan mengabdi kepada rakyat. Pendidikan yang ilmiah bertujuan memajukan ilmu pengetahuan sebagai upaya untuk memajukan tingkat pemikiran sekaligus kebudayaan rakyat dan bangsa Indonesia. Keilmiahan itu sendiri terlahir dari kenyataan konkret rakyat Indonesia, termasuk akar persoalan yang menyebabkan rakyat Indonesia terhisap dan tertindas. Sehingga ilmu pengetahuan bisa menjadi salah satu instrumen untuk menjawab persoalan-persoalan rakyat dan bangsa Indonesia. Karena di bawah dominasi imperialisme, ilmu pengetahuan kehilangan keilmiahannya. Imperialisme yang memonopoli pengetahuan dan teknologi, menjadikannya justru sebagai barang dagangan dan dalam tingkat tertentu sebagai penghancur peradaban masayarakat dengan melancarkan perampokan serta perang agresi terhadap negeri-ngeri jajahan dan setengah jajahan. Ilmiah berarti juga menanggalkan nilai-nilai dan budaya lama yang berbau mistis dan menjadikan ilmu sebagai jawaban atas persoalan sebagai salah satu bentuk kecintaan terhadap ilmu pengetahuan

Pendidikan yang Demokratis bertujuan menjangkau seluruh rakyat Indonesia. Sebab Demokratisnya pendidikan terkandung didalamnya aspek-aspek partisipasi, kesetaraan dan keadilan. Partisipasi berarti kemudahan bagi rakyat untuk memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan. Kesetaraan berarti menegaskan bahwa para mahasiswa berhak ditempatkan setara dalam proses pendidikan termasuk pengambilan kebijakan. Dan berkeadilan tidak lain adalah kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan haruslah memihak bagi unsur mayoritas yaitu mahasiswa dan rakyat secara keseluruhan.

Pendidikan yang mengabdi pada rakyat bertujuan secara langsung memberi kontribusi untuk memajukan kebudayaan nasional dan tenaga produktifnya. Memajukan kebudayaan nasional berarti memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi nasional guna membangun sebuah industri dasar nasional yang kuat, sehingga bisa melepaskan bangsa dan rakyat Indonesia dari ketergantungan modal dan alat produksi dari kaum imperialis. Dan untuk memajukan hal tersebut, mau tidak mau harus memajukan tenaga produktif di Indonesia. Dengan tenaga produktif yang berkembang maju, maka akan menciptakan syarat-syarat kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Namun harus disadari bahwa memperjuangkan sistem pendidikan nasional yang ilmiah, demokratis dan mengabdi kepada rakyat pasti akan mendapatkan tentangan keras dari imperialisme dan rejim bonekanya di Indonesia. Untuk itu, perjuangan pemuda dan mahasiswa di Indonesia harus menjadikan imperialisme dan rejim boneka-nya di Indonesia sebagai sasaran perjuangan massa pemuda dan mahasiswa dengan berbagai tuntutan-tuntutan konkret massa sampai terwujudnya Indonesia yang merdeka dan demokratis sepenuhnya, bebas dari belenggu imperialisme, feodalisme dan kapitalisme birokrat.

Memperjuangkan hal di atas, bukan saja menjadi cita-cita perjuangan pemuda dan mahasiswa, tetapi juga seluruh rakyat Indonesia. Sehingga, memperjuangkan sistem pendidikan nasional yang ilmiah, demokratis dan mengabdi kepada rakyat, juga menjadi bagian dari perjuangan seluruh rakyat di Indonesia. Untuk itu, gerakan massa pemuda dan mahasiswa perlu menarik kekuatan dari klas buruh, kaum tani, kaum miskin perkotaan, kaum perempuan dan berbagai kekuatan anti imperialis dan anti feodalisme di Indonesia untuk bersama-sama memperjuangkan sistem pendidikan nasional yang ilmiah, demokratis dan mengabdi kepada rakyat.

Tugas-Tugas Pemuda dan Mahasiswa

Dengan pemaparan di atas, maka pemuda dan mahasiswa di Indonesia memiliki beberapa tugas-tugas penting yaitu :

1.   Membangkitkan, mengorganisasikan dan menggerakkan massa mahasiswa untuk menuntut hak-hak demokratis-nya. Menjadi sebuah keniscayaan kemudian bahwa dalam rangka memperjuangkan sistem pendidikan nasional yang ilmiah, demokratis dan mengabdi pada rakyat hanya bisa dicapai ketika massa pemuda dan mahasiswa bangkit, berorganisasi dan bergerak. Organisasi-organisasi massa pemuda dan mahasiswa termasuk Front Mahasiswa Nasional (FMN), harus menyadari betul bahwa pekerjaan-pekerjaan membangkitkan, mengorganisasikan dan menggerakkan massa mahasiswa adalah hal pokok dalam setiap  aktifitas yang dilakukan

Membangkitkan kesadaran massa atas persoalan-persoalan konkret massa yang dihadapi hingga pada tingkat pemahaman lebih kompleks akan akar persoalan penindasan—imperialisme, feodalisme dan kapitalisme birokrat—hanya bisa dijawab ketika kerja-kerja pendidikan dan propaganda secara intensif dilakukan dengan baik melalui propaganda solid ataupun propaganda luas kepada massa. Tanpa membangkitkan massa, maka sulit bagi sebuah organisasi massa mahasiswa untuk bisa mengorganisasikan ataupun menggerakan massa mahasiswa dalam memperjuangkan hak-hak demokratisnya. 

Mengorganisasikan massa adalah langkah untuk bisa menghimpun kekuatan massa seluas mungkin. Karena hanya kekuatan massa yang bisa melakukan perubahan. Disinilah peran organisasi sebagai alat perjuangan massa untuk mencapai cita-cita perjuangan sangat dibutuhkan. Hanya massa yang terorganisir dengan baik, dipandu oleh garis politik yang tepat dan di bawah kepemimpinan organisasi yang tepat yang akan bisa melakukan perubahan.

Pengorganisasian massa dengan bertopang pada propaganda sekaligus pengorganisasian solid adalah kunci utama dalam mengorganisasikan massa. Menekankan pembangunan basis pokok mahasiswa (Kampus) dengan pembentukan grup-grup pengorganisasian solid di tingkat kampus menjadi tugas-tugas mendesak untuk membesarkan gerakan massa mahasiswa.

Menggerakan massa mahasiswa setelah kesadarannya dibangkitkan dan diorganisasikan dalam sebuah organisasi adalah langkah untuk keluar dari segala persoalan yang dihadapi massa. Karena hanya dengan jalan perjuangan massa, tuntutan-tuntutan massa bisa diperjuangkan. Perjuangan massa juga nantinya akan melahirkan pimpinan-pimpianan massa. Untuk itulah perubahan disebut “karya massa”.

2.   Membangun front bersama kekuatan pemuda dan mahasiswa di Indonesia untuk memperjuangkan hak-hak demokratis pemuda dan mahasiswa
Dalam memperjuangkan hak-hak demokratis pemuda dan mahasiswa, maka diperlukan juga persatuan dari seluruh kekuatan pemuda dan mahasiswa dengan membangun front sektoral pemuda dan mahasiswa. Organisasi-organisasi massa mahasiswa, lembaga-lembaga mahasiswa, unit-unit kegiatan mahasiswa hingga komunitas-komunitas mahasiswa di kampus harus menyadari bahwa pemenuhan hak-hak demokratis pemuda dan mahasiswa, baik di kampus hingga yang berkaitan langsung dengan kebijakan pemerintahan secara umum terhadap pemuda dan mahasiswa, harus diperjuangkan secara bersama-sama.

Membangun front pemuda dan mahasiswa dalam memperjuangkan hak-hak demokratisnya, memiliki arti penting sebagai sebuah tugas untuk memperluas pengaruh gerakan massa demokratis di kalangan massa pemuda dan mahasiswa secara luas. Memperkuat persatuan di gerakan massa demokratis pemuda dan mahasiswa sekaligus sebagai bagian dari upaya untuk meng-isolir atau mengucilkan kekuatan klik paling reaksioner di Indonesia, mulai dari tingkat kampus hingga tingkat nasional.

3.   Mengabdi pada rakyat dengan mencurahkan seluruh tenaga dan pikiran untuk meningkatkan taraf kebudayaan rakyat Indonesia
Tugas ini merupakan salah satu tugas mulia yang harus diemban oleh gerakan pemuda dan mahasiswa di Indonesia. Disadari bahwa sistem pendidikan yang tidak ilmiah, tidak demokratis dan tidak mengabdi pada rakyat, telah mengakibatkan tingkat kebudayaan rakyat Indonesia sangat terbelakang. Jumlah putus sekolah dan angka buta huruf yang masih cukup tinggi, setidaknya menjadi cerminan betapa masih terbelakangnya tingkat kebudayaan rakyat Indonesia.

Gerakan pemuda dan mahasiswa yang memiliki tingkat mobilitas sosial dan politik yang cukup tinggi serta dibekali dengan sejumlah kecakapan ilmu dari bangku kuliah, mau tidak mau harus berupaya memecahkan hal tersebut dengan mencurahkan segala tenaga dan pikiran demi meningkatkan kemajuan kebudayaan rakyat Indonesia. Singsingkan lengan baju dan menyelami kehidupan rakyat—terutama klas buruh , kaum tani dan kaum miskin perkotaan—melalui kegiatan-kegiatan pelayanan sosial di bidang pendidikan, kebudayaan, olahraga dan kesehatan kepada rakyat secara sukarela dan cuma-cuma harus dijadikan sandaran sebagai salah satu bentuk pengabdian pemuda dan mahasiswa kepada rakyat Indonesia.

Hal ini juga ditujukan untuk terus memperteguh keyakinan pemuda dan mahasiswa agar selalu setia dalam berjuang. Karena hanya dengan mengetahui secara langsung kenyataan konkret kehidupan rakyat tertindas Indonesia, pemuda dan mahasiswa bisa menyadari sesungguhnya realitas kemiskinan dan keterbelakangan yang dihadapi oleh rakyat Indonesia. Karena kenyataan tentang kehidupan rakyat Indonesia, tidak didapatkan dari bangku kuliah yang terus mendidik mahasiswa dengan ide-ide atau nilai-nilai imperialisme dan feodalisme.

4.   Terlibat aktif bersama seluruh rakyat Indonesia dalam front multisektor untuk memperjuangkan hak-hak demokratis seluruh rakyat Indonesia 
Gerakan pemuda dan mahasiswa bukanlah sebuah gerakan yang terpisah dari gerakan rakyat Indonesia lainnya. Gerakan pemuda dan mahasiswa adalah suatu kesatuan atau menjadi bagian dari perjuangan dan gerakan rakyat di Indonesia secara keseluruhan. Untuk itu, dalam upaya memperjuangkan hak-hak demokratis rakyat sekaligus sebagai upaya melawan dominasi imperialisme dan rejim boneka-nya di Indonesia, gerakan pemuda dan mahasiswa harus terlibat aktif dalam front multisektor yang terdiri dari seluruh kekuatan rakyat Indonesia yang anti imperialisme dan anti feodalisme.

Front multisektor yang terdiri dari berbagai kekuatan rakyat yang anti imperialisme dan anti feodalisme tersebut harus diupayakan berdasarkan persekutuan kekuatan pokok kelas buruh dan  kaum tani di bawah kepemimpinan kelas buruh. Hanya front multisektor demikianlah,  yang sanggup memperluas pengaruh gerakan massa demokratis di kalangan massa rakyat luas dan mengucilkan klik paling reaksioner di Indonesia.

Peranan aktif gerakan pemuda dan mahasiswa di dalam front multisektor ini adalah siap berjuang dan bahu membahu dengan kekuatan klas buruh dan kaum tani dalam menggelorakan perjuangan massa. Gerakan pemuda dan mahasiswa harus menunjukkan bahwa pemuda dan mahasiswa patriot muda sejati dan pelayan setia bagi rakyat Indonesia yang siap sedia selalu bersatu dan berjuang bersama rakyat untuk menegakkan demokrasi dan kemerdekaan sejati bagi bangsa dan rakyat di negeri ini.  

5.   Membangun front internasional dengan gerakan pemuda dan mahasiswa serta rakyat di dunia atas dasar solidaritas internasional anti imperialisme
Perampokan dan perang agresi imperialis terhadap negeri-negeri jajahan dan setengah jajahan yang dipimpin oleh imperialis Amerika Serikat (AS) telah mengakibatkan rakyat di berbagai belahan dunia hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan.

Demi nafsu menguasai sumber-sumber minyak dan berbagai sumber kekayaan alam lainnya, eksploitasi terhadap tenaga kerja murah dan penguasaan pasar, imperialisme pimpinan AS tidak saja berupaya menancapkan dominasinya secara politik, ekonomi dan budaya di suatu negeri, tetapi bahkan secara militer. Hal ini dibuktikan dengan invasi yang dilakukan imperialis AS ke Afghanistan, Irak dan Lebanon. Imperialis AS adalah sang barbar yang selalu haus darah dan membunuh ratusan ribu hingga jutaan rakyat tak berdosa hanya untuk memenuhi nafsu serakah kaum kapitalis monopoli internasional.     

Dominasi imperialisme juga telah mengancam hak-hak pemuda dan mahasiswa di berbagai belahan dunia. Terjadi monopoli ilmu pengetahuan dan teknologi di tangan Negara-negara imperialis dan perusahaan-perusahaan raksasa kaum kapitalis monopoli internasional. Diberlakukannya privatisasi pendidikan sebagai komoditi jasa yang telah diatur dalam organisasi perdagangkan dunia (WTO), pencabutan subisidi pendidikan termasuk di negeri-negeri induk imperialis hingga pembatasan lapangan pekerjaan bagi kaum pemuda. Hal yang telah menimbulkan kebangkitan perlawanan kaum pemuda dan mahasiswa di berbagai  belahan dunia dalam tahun-tahun belakangan ini, sebagaimana yang terjadi di Prancis dan Amerika Serikat pada pertengahan Maret 2006 lalu.    

Dominasi imperialisme AS dan rejim boneka-nya di berbagai belahan dunia, juga telah menciptakan krisis yang terus menajam sehingga telah melahirkan kebangkitan perlawanan rakyat dari negeri-negeri jajahan dan setengah jajahan. Di Amerika Latin, tampil rejim-rejim populis seperti Hugo Chavez dan Evo Morales yang dengan lantang berani menentang dominasi imperialisme AS. Di timur tengah, rakyat Irak, Iran, Lebanon dan Palestina tidak berhenti untuk terus menunjukkan perlawanannya terhadap dominasi imperialis AS. Di Nepal, Filipina, Turki perlawanan rakyat juga tidak pernah surut terhadap dominasi imperialis dan rejim boneka-nya.

Untuk itulah, sangat penting bagi gerakan pemuda dan mahasiswa di Indonesia untuk membangun front internasional bersama gerakan pemuda dan mahasiswa serta rakyat di dunia sebagai bagian dari perjuangan seluruh rakyat di dunia melawan dominasi imperialis AS. Front internasional tersebut, didasarkan atas dasar solidaritas internasional yang menekankan perjuangan pokok pada pada perjuangan massa di dalam suatu negeri terhadap dominasi imperialisme dan rejim boneka-nya.  

Usaha-Usaha Perjuangan

Memperjuangkan sistem pendidikan nasional yang ilmiah, demokratis dan mengabdi pada rakyat serta menjalankan tugas-tugas pemuda dan mahasiswa harus dikonkretkan melalui usaha-usaha perjuangan yang hendak diperjuangankan oleh organisasi. Usaha-usaha perjuangan ini adalah tuntutan-tuntutan perjuangan massa bersifat jangka pendek yang ditujukan untuk pemenuhan hak-hak demokratis pemuda dan mahasiswa Indonesia. Usaha-usaha perjuangan itu adalah :

1.   Menuntut biaya kuliah murah
      Hampir setiap tahun ditemukan kenaikan biaya kuliah dengan berbagai variasi mulai dari kenaikan SPP, SKS, BOP dan sejenisnya. Kenaikan biaya kuliah tidak terlepas dari kebijakan pemangkasan anggaran pendidikan sehingga mengurangi subsidi bagi sektor pendidikan termasuk pendidikan tinggi. Disamping itu, kenaikan biaya kuliah juga lebih banyak ditujukan untuk menambah pundi-pundi kaum kapitalis birokrat di kampus. Jika biaya kuliah terus naik, maka akan membatasi kesempatan bagi pemuda ataupun lulusan sekolan untuk mengenyam bangku kuliah. Dengan demikian, akan semakin menambah keterbelakakangan bagi rakyat Indonesia, terutama bagi kalangan pemuda. Di samping itu, kenaikan biaya kuliah juga mengancam mahasiswa yang pendapatan keluarganya minim, untuk bisa melanjutkan kuliah. Selanjutnya, memaksa mahasiswa juga harus berprofesi sebagai pekerja atau buruh untuk menutupi beban biaya kuliah yang terus mahal. Untuk itu, penting bagi mahasiswa untuk menuntut adanya biaya kuliah yang murah.

2.   Peningkatan fasilitas pendidikan di kampus.
      Biaya pendidikan yang terus mahal atau meningkat ternyata tidak diiringi dengan peningkatan fasilitas pendidikan, seperti ruang kelas, laboratorium, perpustakaan, bis kampus, toilet dan sebagainya. Tidak wajar jika biaya kuliah terus meningkat, tetapi peningkatan fasilitas pendidikan di kampus begitu minim. Harus dipahami bahwa kampus memiliki kewajiban untuk menyediakan segala fasilitas pendidikan bagi kelancaran proses belajar mengajar. Bisa dibayangkan bagaimana mahasiswa harus bertumpuk dalam ruangan kelas yang sempit. Atau suasana belajar yang tidak akan kondusif, jika suatu kelas diisi 75 hingga 100 mahasiswa. Wajar kemudian jika ada tuntutan peningkatan fasilitas pendidikan di kampus.

3.   Kebebasan Berpendapat dan berorganisasi bagi mahasiswa di kampus
      Hak setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat dan berorganisasi, sebagaimana tercantum dalam pasal 28 UUD 1945 tentang kebebasan berpendapat dan berserikat bagi setiap warga negara. Kampus seharusnya memberikan ruang bagi mahasiswa untuk berpendapat dan berorganisasi. Tidak benar, ketika mahasiswa kritis akan realitas kampusnya, harus terancam drop out (DO), dikenakan skorsing atau dijatuhi nilai jelek. Juga tidak benar, ketika mahasiswa mengadakan mimbar-mimbar demokrasi atau memyebarluaskan propaganda di kalangan massa mahasiswa dicap sebagai tindakan mericuhkan keadaan kampus. Apalagi melarang mahasiswa untuk mengadakan demonstrasi dan terlibat dalam sebuah organisasi. Meskipun ada organisasi-organisasi seperti lembaga-lembaga kemahasiswaan dan unit-unit kemahasiswaan, peranan ormas-ormas ataupun komunitas organik mahasiswa di dalam kampus juga sangat berperan bagi dinamika mahasiswa. Bagaimanapun, ormas-ormas ataupun komunitas-komunitas organik mahasiswa di dalam kampus tetap harus diakui keberadaannya oleh kampus. Jika kebebasan berpendapat dan berorganisasi terancam, maka mahasiswa akan mengalami kesulitan dalam memperjuangkan hak-hak demokratisnya di kampus.

4.   Hentikan represifitas terhadap mahasiswa
      Sering kali, tindakan kritis mahasiswa ataupun aksi-aksi mahasiswa dibalas dengan represifitas baik dalam bentuk kekerasan ataupun psikologis (ancaman DO, skorsing dan nilai jelek). Apa yang pernah menimpa kawan-kawan FMN STAIBU Jombang yang dipecat dari kampus, 3 anggota FMN yang sempat diancam DO karena turut memperjuangkan penolakan kenaikan biaya SPP di UNRAM, pemboikotan terhadap acara musik untuk pendidikan FMN Unsat Jakarta, pembubaran dengan kekerasan terhadap aksi mahasiswa menolak kenaikan biaya SPP di UNSRI Palembang, pembubaran terhadap aksi memperingati dies natalis UGM dan Unibraw, hingga kasus kematian yang menimpa mahasiswa IKIP Mataram, M Ridwan, cukup menjadi fakta bahwa upaya mahasiswa dalam memperjuangkan hak-hak demokratisnya di kampus masih mendapatkan tekanan represifitas dari pihak kampus. Jika represifitas terhadap mahasiswa terus terjadi, maka mahasiswa akan kembali lagi di zaman NKK/BKK di mana mahasiswa dipaksa bungkam dalam melakukan aktifitas-aktifitas politik. Mahasiswa datang ke kampus untuk menuntut ilmu dan mendapatkan hak yang memang seharusnya didapatkan. Jika direpresif, maka pihak kampus telah melakukan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia sebagaimana yang telah di atur dalam Piagam HAM PBB tentang hak untuk hidup bebas dari  rasa takut.

5.    Berantas segala bentuk pungli di kampus
Selain harus dibebani dengan pembiayan pokok seperti SPP dan SKS, mahasiswa juga sering dipungut biaya (pungli) lainnya atas nama kelancaran operasional pendidikan. Sudah barang tentu hal ini akan semakin memberatkan mahasiswa. Apalagi jika kemudian pungutan-pungutan tersebut tidak diketahui kemana saja penggunaannya dan hal ini sering kali ditemukan di kampus-kampus. Pungli-pungli tersebut adalah bukti bahwa kampus terus menjadikan mahasiswa sebagai ‘sapi perahan” yang dikuras uangnya demi memenuhi nafsu kaum kapitalis birokrat di kampus. Mau tidak mau, segala bentuk pungli di kampus harus diberantas.

6.   Libatkan mahasiswa secara menyeluruh dalam menentukan kebijakan kampus
      Sebagai unsur mayoritas dalam kampus sekaligus pendanaan utama bagi kampus, seharusnya mahasiswa menjadi pihak yang paling berkepentingan terhadap segala penentuan kebijakan kampus. Kenyataannya,  mahasiswa selalu menjadi unsur minoritas dalam menentukan kebijakan kampus, seperti pemilihan rektor, aturan-aturan akademis hingga yang menyangkut pembiayaan perkuliahan. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan betapa tidak demokratisnya kehidupan kampus saat ini. Jika terus terjadi seperti ini, mahasiswalah yang akan selalu dirugikan. Untuk itu, mahasiswa harus berjuang agar dilibatkannya mahasiswa secara menyeluruh dalam menentukan kebijakan kampus.

7.   Transparansi pengelolaan dana operasional kampus
      Tingkat perkembangan saat ini menunjukkan bahwa kampus juga menjadi ladang subur bagi adanya korupsi, terutama dengan makin maraknya sekian pembiayaan (pungli) dengan dalih bagi operasional pendidikan. Lantas kemanakah semua aliran dana yang dikeluarkan oleh mahasiswa? tidak sedikit mahasiswa yang tidak mengetahui biaya yang dikeluarkan oleh mahasiswa digunakan untuk apa saja. Sementara pihak kampus, selalu bungkam jika berbicara tentang transparansi pengelolaan dana kampus. Bukankah hal ini merupakan sebuah tindakan penipuan massal terhadap mahasiswa. Jadi, transparansi pengelolaan dana operasional kampus harus terang bagi mahasiswa.

8.   Tingkatkan kesejahteraan dosen, karyawan dan guru
      Dosen dan karyawan juga terancam kesejahteraanya, jika kemudian status mereka disamakan dengan buruh pabrik yang juga diikat melalui perjanjian kerja dengan sistem kontrak. Artinya dosen, karyawan ataupun guru juga harus siap sedia dipecat sebagai mahasiswa. Jika itu terjadi, maka mahasiswa juga yang akan tetap merugi, karena kehilangan tenaga-tenaga dosen dan karyawan yang bisa membantu kelancaran akademisnya. Maka mahasiswa bersama dosen dan karyawan di kampus harus saling berjuang bersama untuk  menuntut hak-hak dosen, karyawan dan guru.

9.   Pendidikan gratis bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan mengalokasikan 20 persen anggaran pendidikan
      Pendidikan gratis bagi seluruh rakyat Indonesia (terutama dari keluarga klas buruh, kaum tani dan kaum miskin perkotaan) sesungguhnya bisa diwujudkan dengan dialokasikannya anggaran pendidikan  20 persen sesuai dengan mandat konstitusi (UUD 1945). Anggaran 20 persen memang khusus untuk sektor pendidikan, di luar anggaran untuk gaji guru dan dosen. Selama ini, pemerintah bukannya tidak punya dana untuk membiayai pendidikan, tetapi karena anggaran negara habis terkuras untuk membayar utang luar negeri dan membiayai proyek-proyek imperialisme di dalam negeri seperti pembangunan infrastruktur dan rekapitalisasi perbankan. Minimnya anggaran ini juga yang mendorong kenaikan biaya pendidikan yang kemudian dibebankan kepada rakyat.   

10  Lapangan pekerjaan bagi sarjana dan pemuda
      Bukan cerita baru jika banyak sarjana dan pemuda secara umum yang menganggur. Padahal dalam konstitusi di atur bahwa setiap warga mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak dan dijamin oleh negera. Tetapi hal itu tidak pernah terjadi. Jika lapangan pekerjaan bagi sarjana dan pemuda tidak tersedia, hal tersebut bisa memicu meningkatnya angka kriminalitas dan trafficing. Semakin banyak sarjana dam pemuda yang menganggur akan menambah keterpurukan bagi rakyat           

11.  Pemberantasan korupsi di dalam dunia pendidikan
Anggaran pendidikan yang minim diperparah dengan praktek korupsi dalam dunia pendidikan. Praktek korupsi yang dilakukan dengan berbagai cara telah mengakibatkan dana pendidikan semakin minim dalam realisasinya dan jumlah dana yang harus dibayarkan oleh masyarakat semakin besar. Praktek korupsi yang dilegalkan seperti pungutan untuk kursi sekolah, buku-buku, seragam, proyek pembangunan fasilitas kampus, operasional penyelenggaraan pendidikan dan lain-lain semakin menambah beban bagi peserta didik untuk mendapatkan pendidikan yang layak. 

12. Pemberantasan Buta Huruf
Angka buta huruf di Indonesia sangat tinggi yaitu sekitar 15,5 juta jiwa dan tersebar di seluruh nusantara. Tingginya angka buta huruf ini disebabkan oleh minimnya akses masyarakat terhadap institusi pendidikan khususnya pendidikan dasar, ketidakmampuan untuk melanjutkan pendidikan atau tidak tersedianya sarana pendidikan. Hal ini menunjukan ketidakmampuan pemerintah dan rendahnya perhatian pemerintah dalam mengatasi persoalan pendidikan dalam menghapuskan persoalan buta huruf di Indonesia.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar